INDOSPORT.COM - Banyak mantan pemain Timnas Indonesia yang buru-buru melanjutkan karier pelatih agar tetap di sepak bola profesional. Namun, keputusan lain dibuat eks kapten Timnas, Agung Setyabudi, yang pilih mentok di Porprov Jawa Tengah.
Geliat Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Tengah 2023 kembali dihadiri sosok istimewa. Salah satu yang istimewa itu datang dari kontingen Kota Solo.
Satu dari sederet pelatih yang dibawa ke karesidenan Pati adalah Agung Setyabudi. Ketika masih aktif sebagai seorang pemain belakang, khususnya bek kanan, Ia merupakan satu dari sedikit pemain yang bisa bertahan lama di Timnas Indonesia.
Agung Setyabudi sudah ada di Timnas Indonesia dari tahun 1993, ketika statusnya merupakan penggawa Arseto Solo. Lalu, perjalanan di tim Garuda diakhiri pada Piala Asia 2004.
Agung Setyabudi merupakan pemain tak tergantikan saat Indonesia membuat kejutan dengan menekuk Bahrain 2-1. Ia menjabat sebagai kapten tim.
Setelah pensiun di Persis Solo pada tahun 2007, Agung Setyabudi sempat menyetujui ketika diajak jadi asisten pelatih Laskar Sambernyawa. Namun setelah berjalan beberapa tahun, Agung memutuskan 'stop' dari dunia sepak bola profesional.
INDOSPORT.COM berkesempatan mewawancarai Agung Setyabudi usai pulang dari Kabupaten Jepara. Agung harus pulang dengan kecewa karena target medali tak tercapai.
1. Bagaimana pengalaman memegang tim Kota Solo di Porprov Jateng 2023?
Ini menjadi pengalaman kedua saya sebagai pelatih kepala di Porprov. Dua tahun lalu, saat Porprov ada di Solo, saya juga ambil bagian. Kemarin dapat perunggu, sekarang tidak dapat (gagal di fase grup).
2. Apa tantangan memegang sebuah tim di Porprov Jateng 2023
Sebenarnya kita memiliki masa persiapan selama dua tahun. Tapi memang dalam perjalanan waktu, persiapan menjadi tidak maksimal. Kadang-kadang latihan cuma diikuti 10 sampai 12 pemain saja, itupun kadang kipernya sampai tiga.
Kendalanya memang beberapa pemain memilih ikut turnamen, seperti tarkam. Ya saya tidak bisa melarang itu karena mereka juga butuh uang. Sekali main dapat Rp500 ribu kan lumayan. Sedangkan insentif ketika ikut tim ini kurang lebih Rp600 ribu untuk sebulan.
Dan, harus diakui dari tim-tim lawan juga bagus. Mereka memiliki masa persiapan yang lebih bagus. Ini salah satu evaluasi kenapa kita tidak mendapatkan hasil yang bagus.
3. Sebenarnya, enak melatih tim senior atau tim Porprov?
Tim porprov ini kan aturannya di bawah 21 tahun. Bagi saya, sebenarnya lebih enak yang ini. Mereka mau berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan dan mau diajak kerja keras.
Tapi ya kembali lagi, karena mereka juga ada kebutuhan, latihan di tim jadi jarang lengkap. Visi misi sebuah tim kan terbentuk dari proses latihan.
4. Nah, setelah dua kali melatih tim Porprov, ada keinginan kembali ke profesional enggak?
Kalau nanti saya melatih lagi, pekerjaan saya di PDAM (Kota Solo) jadi terbengkalai. Dah, saya sudah cukup di profesional. Tak melatih yang di kampung-kampung saja.
5. Apakah alasannya karena pekerjaan atau ada faktor keluarga juga? Sudah di Timnas dari tahun 1993, otomatis sering ditinggal?
Nah itu, saya pergi jauh terus, kasihan saya (sama keluarga). Dari awal 90-an sudah main terus, senang-senang sendiri terus. Sekarang tak di rumah saja. Ini setelah Porprov juga stop, melatih itu capek hahaha...
Dan sebenarnya, kalau pelatih kan tidak harus dari pemain bola timnas. Justru yang dulu, maaf, jarang ada panggilan dari Timnas, mereka menjadi lebih tekun dalam melatih.
Ketika mungkin saat sebagai pemain jarang bermain, dia lebih menekuni kepelatihannya, seperti belajar teorinya.
6. Apakah selama jadi pelatih juga merasakan itu? Beberapa teman yang dulu di Timnas juga masih ada beberapa yang lanjut di profesional.
Musuh berat sebenarnya rasa egois. Jadi seperti 'harus ikut caraku, harus main sepak bola seperti caraku dulu', padahal kan enggak bisa. Dua anak dalam satu rumah saja karakternya bisa berbeda.
Saya dulu (awal melatih), pernah merasakan itu juga. Yang seangkatan saya, yang tetap melatih (profesional) ada, tapi sedikit yang bisa sukses sebagai pemain sekaligus pelatih. Ada, tapi sedikit (yang punya prestasi sama).
7. Setelah stop dari dunia sepak bola profesional, mas Agung masih sering la setiap hari. Apakah itu karena sudah terbiasa dengan pola hidup ketika menjadi pemain Timnas?
Sebenarnya bukan karena itu. Dulu saat awal-awal berhenti sebagai pemain, saya pernah sakit. Pola makannya masih seperti atlet, tapi latihannya sekadar pemanasan. Lama-lama kan jadi gendut, karena makannya jorok, tidak terkendali dan olahraganya cuma jalan-jalan, akhirnya penimbunan lemak. Kan takutnya nanti malah jadi penyakit.
Makanya setiap pagi saya lari lima sampai sepuluh kilometer, tidak harus lari kencang, pelan-pelan. Saya sudah ada ukurannya sendiri. Kalau denyut nadi sudah lebih dari batas saya ya larinya dipelankan. Yang penting enak saja..