'Starting Eleven' Persija Jakarta Terbaik Sepanjang Masa
Persija didirikan pada 28 November 1928. Awalnya, tim ini bernama Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) di era penjajahan Belanda. Itu artinya Persija sudah 88 tahun menjadi bagian penting sepakboa Tanah Air.
Berdirinya klub kebanggaan Jakmania ini penuh dengan semangat perjuangan negeri ini lepas dari kungkungan penjajah, karena sebulan sebelum berdiri para pemuda Indonesia deklarasikan Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Jika dirunut, Persija sudah menjadi raja di era Perserikatan tim berkostum kebanggaan oranye ini sudah memenangkan gelar era Perserikatan sebanyak 9 kali. Ketika memasuki era Liga Indonesia, pada 2001 Persija memenangkan gelar.
Hilir mudik sejumlah bintang masuk dalam tim yang memiki kostum kebanggaan berwarna oranye tersebut. Tentu bukan perkara mudah untuk menentukan 11 pemain terbaik sepanjang masa untuk tim yang berbasis di Ibukota
Menggunakan formasi 4-3-3, dengan segala subjektivitas, INDOSPORT mencoba mengulas susunan pelatih dan pemain yang memperkuat Persija sepanjang masa:
1. Yudo Hadiyanto
Yudo Hadiyanto lahir di Solo pada 19 September 1941.Yudo menjaga gawang Persija pada 1960 hingga 1973.
Kepiawaiannya mementahkan tembakan-tembakan lawan dan daya refleksnya yang baik, membuat Yudo dijuluki Macan Terbang.
Di eranya, Yudo bukan saja pernah berhadapan dengan klub-klub lokal. Tercatat, pria tinggi dan langsing ini pernah menahan serbuan pemain-pemain klub Leeds United, Benfica, dan Dynamo Moskwa.
Ketangguhan Yudo di bawah mistar sempat membuat namanya tenar. Ia bahkan pernah disebut-sebut sebagai penjaga gawang terbaik di Asia. Ia juga masuk di timnas pada 1961.
Yudo pensiun sebagai pemain pada medio 1970-an. Di hari tuanya, ia sempat melatih beberapa SSB di Jakarta.
2. Ismed Sofyan
Posisi bek sayap tak afdol jika tak ada tempat bagi legenda hidup Persija, Ismed Sofyan. Sampai saat ini ia masih aktif bersama Persija yang dibelanya satu dekade lebih.
Ismed adalah pemain kelahiran Aceh pada 28 Agustus 1978. Meski lahir di Serambi Mekah, kecintaannya terhadap tim Macan Kemayoran tak perlu diragukan lagi. Ia sudah memperkuat tim asal ibu kota sejak 2003 lalu.
Selain dikenal mumpuni dengan umpan-umpan terukur dan memanjakan, tendangan bebas dan tendangan jarak jauhnya sangat mematikan. Salah satu gol dari tendangan bebas cantik yang pernah dicetaknya ketika menghadapi Persik Kediri di Stadion Lebak Bulus pada Liga Indonesia tahun 2007 lalu.
Gol yang dicetak dari jarak sekitar 40 meter lebih dari gawang itu bahkan tercatat sebagai gol terbaik nomor satu di ASEAN pada 2007. Bek bernomor punggung 14 itu pada 2000 hingga 2007 juga menjadi punggawa timnas.
Bersama Persija, ia sudah membukukan 240 penampilan. Kini, Ismed yang sudah berusia 37 tahun dan menjadi kapten Persija, menjadi teladan bagi para pemain muda Persija.
3. Sutan Harhara
Masih di posisi pemain sayap bertahan, nama Sutan Harhara tentu tak asing di telinga pecinta sepakbola nasional.
Sutan yang lahir di Jakarta pada 19 Agustus 1952 itu memperkuat Persija pada 1972 hingga 1980.
Di eranya, Sutan dikenal lugas menjaga pertahanan Persija dari serangan-serangan lawan. Ketika diplot sebagai bek kanan atau kiri, ia tangguh dan kerap membantu penyerangan. Umpan-umpannya juga terukur.
Baik di Persija atau di timnas, Sutan termasuk pemain yang tak tergantikan. Yang jarang diketahui orang, Sutan adalah penggemar Total Football. Sebagai bek sayap, ia aktif menyerang tapi tak lupa bertahan.
Ketangguhan Sutan menjaga lini pertahanan sempat dirasakan bintang Ajax Amsterdam, Gerth van Zanten. Pada 1974, Ajax datang ke Indonesia dan melawan Persija.
Saat itu, Sutan berhasil mematikan striker mereka, Van Zanten. Karena frustasi kerap dijaga Sutan yang bermains sebagai bek kiri, Van Zanten akhirnya pindah posisi ke kanan. Ketika itu, Persija bermain imbang 1-1.
Persija juga pernah dibawa Sutan menjuarai Perserikatan pada 1973 dan 1975. Kini, Sutan sibuk melatih dari klub ke klub.
4. Nuralim
Untuk posisi bek tengah, nama Nuralim alias Si Jabrik juga pantas dimasukkan dalam starting eleven terbaik Persija sepanjang masa.
Bek yang lahir di Bekasi pada 27 Desember 1973 tersebut dikenal sebagai salah satu pemain bertahan tangguh saat aktif sebagai pemain.
Nuralim merupakan salah satu pemain yang turut membawa Macan Kemayoran meraih gelar Liga Indonesia pada 2001 lalu.
Sosok pemain tinggi dan kekar ini dikenal disiplin menjaga daerah pertahanan, dan tak kenal kompromi menghalau serangan lawan.
Nuralim pernah menjadi pemain bertahan pertama yang pernah terpilih menjadi pemain terbaik di Liga Indonesia, saat ia masih membela Bandung Raya pada 1996/1997.Pada awal 2000-an, Nuralim juga langganan timnas.
Berbekal sertifikat C AFC, Nuralim kini mencoba peruntungan menjadi seorang pelatih. Ia sempat menjadi asisten pelatih Persipasi Bekasi pada 2014 lalu.
5. Marzuki Nyak Mad
Menemani Nuralim di bek tengah ada nama Marzuki Nyak Mad. Pria kelahiran Aceh pada 17 Juli 1964 merupakan pemain bertahan Persija dekade 1980-an.
Di timnas, ia masuk dalam jajaran bek tangguh, selain Robby Darwis, Surisno, dan Muhamad Yunus. Deretan bek tangguh ini sempat membuat lawan-lawannya frustasi saat Indonesia berjuang di SEA GAmes 1985, Asian Games 1986, dan SEA Games 1987.
Marzuki masuk dalam rombongan PSSI Garuda yang dikirim ke Brasil untuk berlatih pada 1980-an.
Ia merupakan bek legendaris Persija yang tangguh. Permainan Marzuki taktis, ulet, dan pintar membaca serangan lawan. Ia pun tak kenal kompromi kala menghadang para penyerang lawan.
6. Iswadi Idris
Beralih ke pemain tengah. Nama Iswadi Idris pantas untuk masuk daftar ini.
Mantan gelandang serang kelahiran Aceh pada 18 Maret 1948 ini tingginya hanya 165 cm. Meski pendek, kepiawaiannya mengolah bola dan kecepatannya menjadikan Iswadi punya nilai lebih. Ia pun dikenal produktif membobol gawang lawan-lawannya.
Iswadi memperkuat Persija pada 1966 hingga 1980. Pemain berjuluk Si Boncel ini membawa Persija juara di era Perserikatan sebanyak 3 kali (1973, 1975, dan 1978).
Pada 1970-an hingga 1980, ia menjadi kapten timnas, yang saat itu sangat disegani di Asia.
Selain terampil, Iswadi juga bisa bertugas di beberapa posisi. Di awal karier, ia menjadi gelandang kanan. Di penghujung karier, justru ia menjadi bek tengah.
Iswadi wafat pada 11 Juli 2008 akibat stroke.
7. Tan Liong Houw
Saat ini, mungkin sangat jarang melihat pemain keturunan tionghoa yang bersinat di Tanah Air. Tapi, Persija pernah memiliki gelandang hebat keturunan Tionghoa bernama Tan Liong Houw.
Tan lahir di Surabaya pada 26 Juli 1930. Ia dijuluki Macan Betawi oleh para pendukung Persija era 1950-an.
Sebagai seorang gelandang kiri, Tan dikenal sebagai pemain tangguh, yang mampu merusak formasi lawan. Permainannya pun keras.
Tan mengaku, bermain sepakbola adalah cintanya. Bukan sekadar uang. Bayangkan, kala membela Persija, ia hanya dibayar segobang atau 2,5 sen. Saat membela timnas, ia hanya dibayar 1 dollar AS per hari.
Tan mengantarkan Persija juara ke-5 era Perserikatan pada 1954.
Di timnas, prestasi Tan pun membanggakan. Pada 1956 di ajang Olimpiade Melbourne, timnas berhasil mencapai perempatfinal. Kala itu, timnas berhasil menahan imbang 0-0 Uni Soviet, yang dikenal sebagai tim tangguh. Namun, akhirnya kalah 0-4 di laga ulang hari berikutnya.
Setelah Asian Games 1962, Tan memutuskan untuk pensiun.
8. Soetjipto Soentoro
Pemain tengah terakhir yang pantas dimasukan dalam starting eleven Persiha sepanjang masa adalah Soetjipto Soentoro. Ia lahir di Bandung pada 16 Juni 1941.
Ia membela Macan Kemayoran pada 1964 hingga 1971. Posisinya adalah gelandang serang atau bisa pula dipasang sebagai second striker.
Selama berkarier sebagai pemain, Soetjipto sudah mencetak 700 gol, sebagian besar di Persija. Ia turut membawa Persija juara era Perserikatan pada 1964. Dirinya pun jadi topskor dengan 16 gol.
Pemain yang dijuluki Si Gareng itu memang pandai menjaga bola, baik saat melakukan dribbling, cepat dalam berlari, dan akurat dalam mencetak gol.
Soetjipto dipanggil timnas Indonesia pada 1965 dan terus bermain hingga pensiun pada 1970.
Soetjipto merupakan salah seorang pencetak gol terbaik yang pernah dimiliki Persija dan timnas Indonesia, sekaligus pemimpin teladan di lapangan hijau. Ia wafat pada 12 November 1994, karena penyakit kanker lever.
9. Djamiat Dalhar
Beralih ke posisi penyerang. Pemain legenda Persija era 1950-an hingga 1960-an Djamiat Dalhar lahir di Yogyakarta pada 25 November 1927.
Sosok pemain sepakbola yang mempengaruhi kariernya adalah Soedarmadji. Soedarmadji merupakan salah seorang pemain pribumi yang memperkuat Hindia Belanda di Piala Dunia 1938.
Djamiat bertemu pelatih klub internal Persija, UMS, Endang Witarsa di Semarang. Kala itu, timnya melawan UMS.
Ketika mengalami cedera lutut, Djamiat pindah ke Jakarta. Di Jakarta, ia kemudian mendapatkan tawaran dari Endang untuk mengobati cederanya ke dokter ahli dan mencarikan donasi untuk Djamiat.
Operasi cedera berhasil. Ia kemudian berlabuh ke tim besuran Endang, UMS. Di sini, karier Djamiat meningkat. Ia pun masuk dalam komposisi pemain timnas Infonesia di bawah Anton Pogacnik.
Djamiat wafat pada 23 Maret 1979. Namanya diabadikan sebagai nama Piala Kejuaraan Nasional Sepakbola U17.
10. Widodo Cahyono Putro
Widodo Cahyono Putro lekat dengan kebesaran nama Persija. Pria asal Cilacap yang lahir pada 8 November 1970 ini dikenal sebagai ujung tombak produktif Macan Kemayoran.
Klub pertama yang dibela Widodo adalah Warna Agung. Bakat gemilangnya kemudian terendus oleh Endang Witarsa dan kemudian mengajaknya bergabung ke Petrokimia Gresik pada 1994.
Ia memperkuat tim ibu kota pada 1998 hingga 2003. Ia turut mengantarkan Persija juara Liga Indonesia pada 2001 lalu.
Widodo dikenal sebagai striker yang cerdas, cepat, dan taktis. Kesempatan sekecil apapun dekat kotak penalti lawan bisa dijadikannya gol.
Ia adalah langganan timnas Indonesia era 1990-an. Gol saltonya ke gawang Kuwait pada laga Piala Asia 1996 tercatat sebagai gol terbaik Asia kala itu.
Setelah pensiun pada 2004, ia memilih menjadi pelatih di klub terakhir yang dibelanya, Petrokimia Putra. Namun nama Widodo tetap melekat bagi para Jakmania karena ia juga yang menciptakan lagu koor Jakmania serta salam khas Jakmania 'Sajete' (salam jempol telunjuk)
Karier kepelatihannya pun terbilang mulus. Pada 2010, ia menjadi asisten pelatih Alfred Riedl dalam Piala AFF. Saat ini, ia menjadi pelatih Sriwijaya FC.
11. Bambang Pamungkas
Tak lengkap rasanya jika tak menempatkan nama Bambang Pamungkas atau yang akrab disapa Bepe dalam daftar starting eleven terbaik Persija sepanjang masa. Striker kelahiran Semarang 10 Juni 1980 ini kental dengan nama Persija, bahkan menjadi ikon tim Ibu Kota meski Bambang sempat sekali berganti kostum ke Pelita Bandung Raya.
Ia pertama kali membela Persija pada 1999 hingga 2005. Pada 2000, ia sempat bermain untuk tim Divisi 3 Belanda, EHC Norad. Lalu ia pindah ke Selangor pada 2005 hingga 2007. Kemudian kembali ke Persija pada 2007 hingga 2012.
Selain memiliki kemampuan melindungi bola dan tendangan yang terarah, Bepe juga memiliki tandukan kepala yang mematikan.
Setelah itu pindah ke Pelita Bandung Raya pada 2013 hingga 2014. Lama menganggur, ia kembali lagi ke tim yang dicintainya di ajang Torabika Soccer Championship 2016.
Di Persija, Bepe termasuk topskor sepanjang masa klub berseragam Oranye. Ia sudah mencatatkan 83 penampilan dan mencetak 40 gol bersama Persija di kompetisi Liga Indonesia.
Ia juga langganan timnas. Pasukan Garuda dibela sejak 1999 hingga 2012.
Bambang bukan saja bisa menularkan pengalamannya kepada para pemain muda Persija, ia juga panutan. Sikap sportifnya di lapangan hijau patut ditiru para pemain muda Persija maupun timnas.
12. Sinyo Aliandoe
Sebagai pelatih, pantas kiranya Sinyo Aliandoe menangani tim ini terbaik Persija sepanjang masa. Sinyo bukan pria asli Jakarta. Ia lahir di Flores pada 1 Juli 1938 (beberapa media menyebut 1940). Namun, dedikasi dan jasanya kepada tim Macan Kemayoran sangat vital.
Om Sinyo, begitu sapaan akrabnya, memulai karier dari tim internal Persija, Maesa. Kemudian, bakatnya tercium pelatih Persija, Endang Witarsa. Ia pun direkrut menjadi bagian dari tim Persija pada awal 1960-an.
Sebagai pemain, Sinyo berhasil membawa tim kebanggaan ibu kota itu meraih gelar kompetisi Perserikatan 1964. Hebatnya, Persija tak terkalahkan saat itu.
Karena prestasinya di klub, Sinyo pun terpilih menjadi pemain tim nasional Indonesia. Sinyo harus pensiun sebagai pemain di awal 1970-an, karena cedera patah kaki.
Namun, kecintaannya pada si kulit bundar tak lekang. Ia kemudian mengabdi sebagai pelatih klub yang dibelanya sejak junior, Persija di tahun 1970-an.
Untuk mengasah ilmu kepelatihan, Manajer Persija kala itu, F.H. Hutasoit, mengirimnya ke Manchester, Inggris. Selepas menimba ilmu di Inggris, Sinyo membawa taktik offside.
Ia mengemas jebakan offside, bukan sematan sebuah jebakan, namun menjadi taktik yang bisa memberikan tekanan kepada lawan. Sejak itu, ia dijuluki Bapak Offside.
Selain itu, ia pun dikenal sebagai pelatih yang tegas, disiplin, dan bisa mengubah permainan dengan melakukan pergantian pemain.
Di tangannya, tim berlogo Monas menjadi tim yang disegani di Indonesia. Pada 1973 dan 1975, Persija menjadi juara Perserikatan.
Berkat prestasinya, timnas memakai jasa Sinyo. Sepak terjangnya sebagai pelatih timnas, yang paling dikenang adalah saat ia mampu melibas semua negara yang satu grup, seperti India, Bangladesh, dan Thailand, di ajang Pra Piala Dunia 1986.
Ketika satu langkah lagi ke Meksiko, timnas harus kalah dari tim kuat, Korea Selatan dengan skor 2-0 di Seoul dan 1-4 di Jakarta.
Setelah itu, kariernya berlanjut untuk memoles Arema di era Galatama. Bahkan, ia disebut-sebut sebagai peletak dasar karakter permainan tim Singo Edan.
Ironisnya, menginjak usia 70 tahun, Sinyo mulai pikun. Ia pun akhirnya wafat pada 18 November 2015 lalu.