Oliver Kahn (PART I): Cita-cita, Mimpi, dan Tangisan Pilu
Siapa yang tak mengenal nama Oliver Kahn. Pasti, semua pecinta sepakbola dunia sangat familiar mendengar nama kiper legendaris Jerman tersebut.
Maklum, Kahn merupakan salah satu kiper terbaik abad ke-21. Kiper kelahiran 15 Juni 1969 tersebut dikenal sebagai salah satu penjaga gawang yang memiliki kemampuan sangat komplet.
Pria yang memiliki tinggi 1,88 meter tersebut sangat piawai dalam mengantisipasi berbagai macam serangan atau tendangan yang dilakukan para striker. Ia memiliki lompatan tinggi dan respon yang sangat cepat.
Dengan kemampuannya yang sangat mumpuni, tak jarang para striker lawan mengalami frustasi untuk bisa membobol gawang yang dikawal Kahn. Sehingga, Kahn acap kali mampu mengantarkan timnya meraih kemenangan.
Kemenangan demi kemenangan terus diraih. Berbagai gelar juara ditorehkan Kahn semasa aktif menjadi pesepakbola profesional bersama Bayern Munchen dan timnas Jerman. Gelar Bundesliga, Liga Champions, dan Euro pernah dipersembahkannya.
Oliver Kahn saat aktif bermain.
Selain menjadi kiper yang hebat, Kahn dikenal sebagai sosok rendah hati di dalam maupun luar lapangan. Ia memiliki jiwa kepemimpinan, nasionalisme, dan sportifitas yang tinggi. Tak jarang, pesepakbola manapun sangat menghormati Kahn.
Meski begitu, tak pernah tau bagaimana Kahn meniti karier hingga mempesona publik sepakbola dunia. Begitupun, kisah-kisah ketika awal dan tengah karier sang kiper legendaris tersebut.
Untuk itu, INDOSPORT telah menyajikan segmen khusus Legenda Olahraga membahas tentang sosok Oliver Kahn lebih dalam. Berikut ulasannya.
1. Warisi Darah Sang Ayah Sebagai Pesepakbola
Oliver Kahn lahir dalam keluarga sederhana di sebuah kota kecil, Karlsruhe, Jerman Barat. Ia tumbuh menjadi kepribadian yang ramah dan disipilin.
Darah sepakbola mengalir di dalam dirinya. Maklum, sang ayah yang bernama Rolf merupakan pesepakbola profesional sebuah klub amatir bernama Karlsruher SC.
Ayah Kahn tidak dapat melanjutkan karier sepakbola profesionalnya. Pasalnya, sang ayah hanya bermain mulai dari tahun 1962-1965.
Untuk itu, sang ayah mewarisi kemampuannya bermain sepakbola kepada Kahn. Ia akhirnya resmi didaftarkan ke sekolah sepakbola yang pernah dibela ayahnya pada tahun 1975.
Kahn memulai langkahnya menjadi pesepkbola profesional di Karlsruher SC. Ia pertama kali menghuni posisi sebagai pemain bertahan atau bek tengah.
Ia dikenal sebagai bek tangguh yang pantang menyerah. Acap kali kemampuannya mampu menghalau serangan lawan.
Perlahan tapi pasti bakatnya sebagai pesepkbola profesional mulai terasah. Sayang di saat kemampuannya berkembang sebagai bek tengah, ia harus berpindah posisi.
Kahn memulai posisi barunya sebagai kiper. Ia menunjukan kegigihannya untuk meneruskan cita-cita sang ayah.
Tantangan demi tantangan dilewatinya tanpa ada sedikit pun rasa lelah dan mengeluh. Ia akhirnya tumbuh sebagai kiper yang sangat handal.
Memasuki usia 18 tahun, Kahn memulai kiprahnya sebagai pesepakbola profesional. Ia membela Karlsruher SC yang berlaga di divisi satu Bundesliga pada musim 1987-1988.
Meski begitu, Kahn memulai kiprahnya dari bawah. Ia terlebih dahulu menjadi kiper cadangan di belakang Alexander Famulla.
Tekad dan perjuangannya tetap menjadi tonggaknya meneruskan cita-cita sang ayah. Keringat yang mengucur deras, serta kerja keras tanpa pantang menyerah terus menjadi teman setianya.
Akhirnya kegigihannya tersebut dapat membuahkan hasil. Ia memulai debutnya dengan manis, dengan membawa timnya mengalahkan FC Koln dengan skor 4-0 pada tanggal 27 November 1987.
Debutnya tersebut membuah berkah tersendiri bagi Kahn. Ia akhirnya ditunjuk oleh sang manajer, Winfried Schafer sebagai kiper utama tim pada tahun 1990.
Kahn membuktikan kepercayaan sang manajer. Ia membuktikan diri sebagai calon kiper terbaik masa depan Jerman.
Kahn berhasil mengantarkan Karlsruher SC untuk pertama kalinya mencapai semifinal Piala UEFA musim 1993-1994. Sayang, langkah Kahn bersama Karlsruher SC harus terhenti usai dikalahkan SV Austria Salzburg.
Kemampuannya bersama Karlsruher SC membuat sejumlah klub papan atas Bundesliga dan Eropa menginginkannya. Kahn akhirnya mampu meneruskan cita-cita sang ayah untuk menjadi pemain sepakbola profesional. Bahkan, ia bisa melebihi apa yang di cita-citakan sang ayah.
Hal itu terwujud ketika klub raksasa Bundesliga, Bayern Munchen membelinya pada tahun 1994. Kahn ditransfer dari Karlsruher SC dengan mahar sebesar 2,385 juta euro atau sekitar Rp35 miliar. Itu merupakan transfer termahal Bundesliga pada eranya.
2. Sepotong Mimpi Oliver Khan Bagian Pertama
Kahn tak menyangka bisa bergabung dengan Bayern Munchen. Ia sangat senang bisa bermain di Bundesliga bersama Die Roten.
Mimpi yang terwujud dari seorang anak kecil yang lahir di wilayah terkecil Jerman. Mata dan wajahnya yang penuh dengan kebahagiaan tak bisa ditutupi Kahn.
Wajah Kahn semakin memancarkan sinar kebahagiaan. Maklum, ia langsung ditempatkan sebagai kiper utama Bayern menggantikan Raimond Aumann.
Ia menunjukan penampilan apiknya bersama Die Roten. Kahn ingin membuktikan kepada dunia bahwa Bayern tak salah merekrutnya.
Terbukti, ia menjadi bagian timnas Jerman di Piala Dunia 1994. Sayang, Kahn tidak satu kalipun turun membela Der Panzer. Ia kalah bersaing dengan dua nama kiper utama Jerman, Bodo Illgner dan Andreas Koepke.
Usai menjadi bagian timnas Jerman di Piala Dunia 1994, Kahn kembali menunaikan tugasnya sebagai kiper utama Bayern.
Sayang, penampilan apiknya harus dibayar mahal. Kahn harus menepi selama enam bulan akibat menderita cedera pecah ligamen. Padahal, Kahn baru semusim membela Bayern.
Di sinilah kembali kegigihan Kahn diuji. Ia harus melewati jalan terjal sebagai pesepakbola profesional. Cedera yang kerap menjadi hantu para pemain kini telah hinggap di dalam dirinya.
Berjuang dengan penuh semangat, Kahn akhirnya mampu pulih dari cedera. Ia langsung menjalani debut utamanya usai pulih dai cedera bersama Bayern.
Kahn boleh dikatakan sebagai pesepakbola yang hebat. Cedera yang pernah dideritanya dijadikan sebuah motivasi untuk tampil lebih baik lagi. Ia tak ingin cedera menghambat kariernya di Bayern.
Sembuh dari cedera, Kahn langsung menjalani debutnya bersama timnas Jerman. Pelatih timnas Jerman, Berti Vogts memanggil Kahn untuk melakoni laga persahabatan jelang Euro 1996. Ia mampu mengantarkan Der Panzer mengalahkan Swiss dengan skor 2-1.
Oliver Kahn (pojok kanan atas) saat menjadi starter Bayern Munchen di final Piala UEFA 1996.
Setelah itu, karier Kahn bak roket yang melejit ke angkasa. Ia akhirnya mempersembahkan gelar pertamanya untuk Bayern.
Kahn berhasil membawa Bayern menjadi juara Piala UEFA musim 1995-1996. Kala itu, Die Roten mengalahkan Bordeaux dengan skor 5-1.
3. Sepotong Mimpi Oliver Kahn Bagian Dua
Kegemilangan karier Khan terus berlanjut. Setapak demi setapak, Kahn dapat meraih sebuah mimpi yang diidamkannya ketika masa kecil.
Kahn yang bermain apik bersama Bayern membuat timnas Jerman membutuhkannya di ajang Euro 1996. Ia pun menjadi bagian skuat Jerman kala tampil di turnamen paling bergengsi daratan Eropa yang terselenggara di Inggris tersebut.
Kiper yang saat itu berusia 27 tahun menyambut panggilan tersebut dengan suka cita. Ia akhirnya dapat membela timnas Jerman di ajang bergengsi internasional.
Sayang, Kahn kembali gagal bersaing dengan sang seniornya, Andreas Koepke. Ia hanya setia duduk di bangku cadangan.
Meksi begitu, Kahn sangat bahagia bisa memperkuat Der Panzer. Namanya tercatat dalam sejarah era emas sepakbola Jerman saat itu.
Oliver Kahn bersama skuat timnas Jerman berhasil menjuarai Euro 1996.
Ia berhasil menjadi bagian Jerman menjadi juara Euro 1996. Saat itu, Tim Panzer mengalahkan Republik Ceko dengan skor 2-1.
Sepulang dari Euro, Kahn mempunyai ambisi untuk bisa menjadi kiper utama Jerman. Salah satu hal yang dapat mewujudkan hal tersebut adalah jam terbang Kahn bersama Bayern. Artinya, Kahn harus tampil lebih baik lagi dan mengukir banyak prestasi bersama Bayern.
Keringat yang mengucur deras serta sikap pantang menyerah masih menjadi senjata Kahn. Hari demi hari dilewatinya bersama Bayern.
Kahn akhirnya mampu mempersembahkan gelar pertama Bundesliga untuk Bayern pada musim 1996-1997. Semusim kemudian, ia mempersembahkan gelar Piala Jerman DFB Pokal.
Lalu, Kahn kembali mempersembahkan gelar Bundesliga pada musim 1998-1999. Serta, gelar Piala Super Jerman pada tiga kali berturut-turut (1997, 1998, dan 1999).
4. Tangisan Pilu Kahn di Liga Champions
Kahn berhasil menunjukan keberhasilannya bersama Bayern di pentas sepakbola Jerman. Ia ingin sekali membawa Die Roten menjadi juara Eropa.
Kesempatan itu datang kala Bayern berjumpa Manchester United pada final Liga Champions musim 1998-1999. Pertandingan tersebut akan berlangsung di kandang Barcelona, Camp Nou.
Apakah mimpi saya bakal terwujud?. Itulah pertanyaan yang muncul di dalam diri seorang Khan.
Rasa tegang, cemas, gembira, dan semangat menjadi satu dalam diri Kahn. Ia memulai pertandingan dengan penuh kepercayaan diri yang tinggi.
Pasalnya, Bayern sudah unggul di menit keenam. Die roten unggul melalui sepakan tendangan bebas yang dieksekusi Basler.
Kahn dengan sigap selalu menghalau serangan The Red Devils. Hingga wasit meniup peluit panjang, skor 1-0 untuk Bayern tetap bertahan.
Di babak kedua, Kahn makin trengginas. Ia membuat dua striker MU, Dwight Yorke danb Andy Cole frustasi.
Wajah tegang, konsentrasi, dan percaya diri menghiasi Kahn sepanjang menit-menit akhir babak kedua. Selangkah lagi mimpinya membawa Bayern menjadi juara Eropa akan terwujud.
Sayang kesigapan Kahn gagal dikuti rekan-rekannya yang menghuni lini pertahanan. Ia gagal membuat gawang Bayern tetap perawan.
Oliver Khan tertunduk lesu dikalahkan Manchester United.
Gawang Kahn dibobol dua kali oleh Manchester United. Masing-masing dicetak oleh Teddy Sheringham pada menit ke 90+1 dan Ole Gunnar Solskjaer menit ke-90+3.
Wasit Pierluigi Collina akhirnya meniupkan pertandingan berakhir. Manchester United akahirnya keluar sebagai juara Liga Champions secara dramatis.
Kahn langsung tertunduk lesu di depan gawangnya. Ia tak menyangka gawang yang dikawalnya bobol hanya dalam waktu dua menit.
Tangisan menghiasi wajahnya. Mimpinya yang selalu terwujud kini berakhir tangisan. Ia gagal membawa Bayern menjadi juara Liga Champions.