Gapai Mimpi di Luar Negeri, Bagaimana Peran PSSI dan Pemerintah terhadap Nasib Pesepakbola Indonesia
Kemampuan olah bola pemain Indonesia saat ini mulai dilirik oleh klub-klub dari luar negeri. Sebut saja nama, Andik Vermansah yang sukses bersama Selangor FA, maupun Dedi Kusnandar yang berseragam Sabah FA.
Untuk pesepakbola muda, ada nama Abdurrahman Iwan dan Andri Syahputra yang menjadi bintang di sepakbola Qatar. Kemudian ada nama Richie Risnal yang berlatih di Belanda, hingga Tristan Alif dan Yussa Nugraha, yang dikabarkan sempat menjadi incaran raksasa Belanda, Ajax Amsterdam dan Feyenoord.
Namun, karier para pesepakbola tersebut tidak semuanya berjalan mulus. Contoh nyata adalah gagalnya Tristan Alif dan Yussa Nugraha bergabung dengan sejumlah klub Eropa lantaran terkendala masalah administrasi.
Hal yang sama juga dialami pemain profesional seperti Boaz Solossa, Patrich Wanggai, dan Oktovianus Maniani. Sempat membela klub Timor Leste, para pemain tersebut harus dipulangkan ke Indonesia karena mengalami kesulitan mendapatkan izin kerja.
Melihat beberapa hal di atas memang patut dipertanyakan bagaimana peran Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan pemerintah mengayomi dan membantu para pesepakbola tersebut. Berdasarkan masalah tersebut, INDOSPORT mencoba menjabarkan kepada pembaca setia.
1. Pemain Sering Alami Masalah Administrasi
Bagi pesepakbola muda Indonesia, untuk bisa bergabung dengan klub luar negeri ada beberapa jalur yang mewadahi mereka yakni, akademi, sekolah sepakbola (SSB), dan program Corporate Social Responsibility (CSR).
Akan tetapi, masalah yang dialami oleh para pesepakbola Tanah Air yang mencoba merumput ataupun menimba ilmu di luar negeri adalah kesulitan bergabung di akademi. Di regulasi FIFA, jika bergabung di akademi, seorang pemain harus memiliki izin tinggal maupun bekerja untuk bisa bergabung dengan sebuah klub.
Namun, untuk saat ini kasus tersebut lebih sering terjadi pada para pesepakbola muda Tanah Air yang ingin menimba ilmu di klub luar negeri. Contoh nyata adalah mengenai nasib Tristan Alif, bocah 12 tahun yang kabarnya dilirik klub Eropa.
Namun, karena masih di bawah umur, Tristan tidak bisa mendapatkan kontrak dari klub peminatnya sesuai regulasi FIFA. Jika bisa bergabung dengan akademi klub, ada persyaratan yang harus dipenuhi.
Hal itu boleh terjadi di bawah usia 18 tahun jika mengacu pada artikel 19 butir ke-2. Pada poin A, FIFA menjelaskan bahwa, transfer internasional bisa dilakukan jika orangtua pindah ke negara tempat klub yang dituju dengan alasan yang tidak terkait sepakbola, contoh: punya pekerjaan di perusahaan setempat.
Apa yang dialami oleh Tristan Alif ternyata juga dialami oleh pesepakbola muda lainnya dari Indonesia, Yussa Nugraha. Pemain yang sempat bergabung dengan SC Feyenoord di Sunday Hoofdklassen (kasta kedua liga amatir Belanda) tak bisa kembali ke klubnya lantaran terganjal masalah visa. Kedua orangtuanya pun tak tinggal di Belanda lagi, sehingga menyulitkan remaja 15 tahun tersebut berkarier di luar negeri.
Meski demikian, jalur SSB dan CSR membuka kemungkinan para jagoan muda ini bisa bergabung dengan klub impian. Jika akademi harus melalui seleksi ketat, maka tidak demikian dengan dua program ini.
Sekolah sepakbola memiliki pengertian yang tak jauh berbeda dengan akademi sepakbola. SSB jadi alternatif jika ada bakat muda yang memiliki kendala saat masuk ke akademi klub. Namun yang jadi perbedaan dengan akademi soal biaya.
Di akademi semua kebutuhan pemain muda sudah ditanggung klub, sedangkan di SSB seorang peserta harus membayar demi bisa mendapatkan pelatihan.
Sementara itu, salah satu program CSR adalah Manchester United Foundation. Program ini sempat memberikan pelatihan singkat kepada pemain muda asal Bali beberapa waktu lalu. Selain itu, pada April lalu, Manchester United Foundation melaksanakan United Training.
Dalam program ini, talenta Indonesia sebanyak 60 anak mendapatkan pelatihan sepakbola kelas dunia bersama pelatih dari Manchester United di pusat pelatihan United Training, Bali pada 11 hingga 18 Mei 2016.
Program CSR ini disinyalir berlaku bagi lima pemain berbakat Indonesia yakni, Khairul Imam Zakiri, Nikola Filipovic, Aditya Affasha, Pancar Nur Widiastono, dan Adam yang menjalani trial atau pelatihan bersama tim akademi Real Valladolid. Mereka bergabung dengan Valladolid statusnya adalah mengikuti program pelatihan internasional dari klub tersebut.
"Valladolid ada international program. Dalam program ini di dalamnya termasuk pendidikan sekolah, latihan bola dan game," jelas Mulyawan Munial selaku CEO Munial Sport Group (MSG) mewakili kelima pemain muda di Vallladolid kepada INDOSPORT.
2. Peran Induk Sepakbola Indonesia, PSSI
Saat ini banyak pemain muda Indonesia yang berlaga di luar negeri. Salah satunya Abdurrahman Iwan dan Andri Syahputra yang menjadi bintang di sepakbola Qatar. Kemudian ada nama Richie Risnal yang berlatih di Belanda.
Sayangnya, keberadaan mereka terkadang tidak terdeteksi oleh PSSI selaku induk federasi sepakbola Indonesia. Padahal bakat yang dimiliki pemain tersebut bisa saja membantu memberikan prestasi bila mereka dipercaya masuk skuat Timnas Indonesia.
Karena memiliki kemampuan olah bola di atas rata-rata, tak sedikit dari pesepakbola muda itu ditawari untuk berpindah kewarganegaraan. Lantas bagaimana peran dan mekanisme PSSI selaku induk sepakbola Indonesia mengayomi calon pesepakbola hebat tersebut.
Menurut mantan ketua PSSI, Djohar Arifin Husein, federasi sepakbola Tanah Air tersebut sebenarnya punya cara tersendiri untuk memantau para pemain Indonesia yang berlatih maupun berkarier di luar negeri.
"Kita memang akan memonitor pemain-pemain keturunan Indonesia yang berada di luar. Kita memonitor lewat Kedutaan dan Kementerian Luar Negeri. Kita harus saling kerjasama karena kan PSSI tidak memiliki Menteri Luar Negeri sendiri," kata Djohar Arifin.
"Kita memang memiliki potensi besar. Buktinya saat kemarin kita krisis pemain kita bisa mendapatkan Irfan Bachdim cs yang kala itu berada di luar negeri," jelas pria yang saat ini kembali maju sebagai calon ketua umum PSSI periode 2016-2020.
Akan tetapi sejauh ini, nampaknya kinerja PSSI belum terlalu maksimal, beberapa pemain muda yang saat ini menimba ilmu di luar negeri terkadang luput dari perhatiannya. Oleh karenanya, jika terpilih pemimpin baru nanti, diharapkan bisa bekerja dengan maksimal dan membangun sepakbola Indonesia menjadi lebih baik.
3. Peran Pemerintah
Beberapa masalah yang dihadapi pemain muda yang ingin berkarier di luar negeri adalah terkendala masalah administrasi baik visa untuk izin tinggal maupun bekerja.
Hal ini pula yang terus diperjuangkan oleh Ivan Trianto ayahanda Tristan Alif. Sang anak sebenarnya tak bisa bergabung dengan klub luar dengan alasan tak bisa dikontrak karena masih di bawah 18 tahun. Namun, ada cara lain jika mengacu pada Artikel 19 Butir ke-2.
Pada Poin A, FIFA menjelaskan bahwa, transfer internasional bisa dilakukan jika orang tua pindah ke negara tempat klub yang dituju dengan alasan yang tidak terkait sepakbola, contoh: punya pekerjaan di perusahaan setempat.
Menurut Ivan, anaknya hanya memiliki satu jalan yakni di pengecualian dalam peraturan FIFA di Poin A tersebut. Pengecualian akan bisa terlaksana jika Ivan mendapat pekerjaan dan surat izin tinggal.
"Caranya hanya dua jika hal ini bisa terlaksana yakni, saya bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia sebagai apapun, yang kedua saya bekerja di perusahaan Indonesia di luar negeri, dan kami sudah tempuh itu," kata Ivan.
Namun menurut Ivan, sejak 2013 hingga 2016 ini belum ada bantuan maksimal dari pihak pemerintah. Baru pada 2015, ia mendapat undangan untuk bertemu Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang dipimpin oleh Imam Nahrawi. Saat itu, Imam mengatakan akan coba berbicara kepada pihak Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) agar mendapat solusi konkret.
Namun hingga Alif berangkat ke Spanyol beberapa waktu lalu, solusi konkret dari pihak yang membantu Alif tidak jua terwujud.
Meski begitu, Ivan mengaku masih berharap bisa mendapat bantuan dari Kementerian lainnya. Ivan pun menyebut jika ia sempat mendapat bantuan pekerjaan dari pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
"Diusulkan kepada KBRI Belanda untuk bekerja menjadi staf di Sekolah Indonesia Netherland oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan namun tidak ada respon dari pihak KBRI," kata Ivan.
Nasib kurang beruntung juga dialami Yussa Nugraha yang gagal bergabung dengan SC Feyenoord karena terhalang masalah visa. Namun, jawaban dari pemerintah dalam hal ini Kemenpora dinilai belum memuaskan karena belum ada langkah konkret.
"Ketentuan di Belanda memang ketat seperti itu, tetapi kami akan tetap coba," jelas Gatot S. Dewa Broto selaku juru bicara Kemenpora menjawab kasus Yussa Nugraha.
4. PSSI dan Pemerintah Harus Bekerja Sama
Mengaca dari beberapa masalah yang sering dialami oleh pesepakbola Indonesia di luar negeri, adalah sangat penting PSSI dan pemerintah harus bekerja sama dan mengesampingkan berbagai kepentingan yang tak berhubungan dengan prestasi sepakbola.
Untuk memuluskan jalan itu, Djohar Arifin Husin menilai PSSI tidak bisa jalan sendiri. Pria yang sempat menjabat Ketua Umum PSSI periode 2011-2015 ini menilai PSSI membutuhkan bantuan pemerintah.
"Seluruh di dunia manapun sepakbola membutuhkan dukungan pemerintah. PSSI itu tidak punya apa-apa. Makanya kita butuh pemerintah. Jadi, siapapun pengurus yang akan datang jangan pasang kuda-kuda dengan pemerintah. Pemerintah harus dirangkul. Saya menginginkan pemerintah ikut terlibat juga dengan semangat kerja sama dengan PSSI," tuturnya.
Hal senada juga diucapkan oleh pengamat sepakbola, yang juga merupakan mantan pemain di era Primavera, Supriyono Prima. Ia menekankan bahwa pemerintah harus menjalin kerja sama dengan negara yang memiliki youth development atau pembinaan usia muda yang baik, sehingga para pemain muda yang berkarier di luar negeri bisa terbantu dan tetap terpantau.
"Pemerintah harus menjalin kerja sama dengan negara yang punya youth development yang baik, itu saja," ujarnya secara singkat kepada INDOPSORT.
Nampaknya kerja sama tersebut harus mulai ditingkatkan pada kepengurusan baru PSSI nanti, terlepas dari siapa pun yang terpilih menjadi ketua umum. Hal itu karena bendera Merah Putih hanya akan berkibar di luar negeri jika ada kunjungan presiden dan prestasi yang diraih atlet Indonesia.