6 Kisah Heroik Ayah dan Anak dengan 'Darah Sepakbola' di Indonesia
Di balik kehebatan seorang pesepakbola, ada sosok tangguh yang berperan besar memberikan semangat, motivasi, dan banyak pelajaran hidup agar tumbuh menjadi pemain hebat. Adalah sang ayah yang menularkan banyak hal positif untuk sang anak.
Jika di pentas sepakbola internasional, kita mengenal sosok legendaris ayah dan anak dari Cesare dan Paolo Maldini. Keduanya berhasil menjadi palang pintu sukses bersama raksasa Italia, AC Milan.
Pada masanya, Cesare memperkuat Milan dari tahun 1954-1966. Selama berseragam Rossoneri, Cesare berhasil tampil dalam 347 laga dan mencetak 3 gol. Sedangkan Paolo Maldini tampil sebanyak 647 laga dan sukses mencetak total 29 gol selama berseragam Milan sejak 1985 -2009.
Selain Cesare dan Paolo Maldini, ada sosok juga pasangan ayah dan anak lain yang memiliki garis keturunan sebagai pesepakbola. Zinedine dan Enzo Zidane di Real Madrid misalnya, lalu ada Danny dan Daley Blind dari daratan Belanda, hingga dua kiper hebat Peter dan Kasper Schmeichel dari Inggris.
Peter Schmeichel bersama sang anak, Kasper Schmeichel saat berhasil meraih gelar Liga Primer Inggris
Tak jauh berbeda dengan pesepakbola internasional, pasangan ayah dan anak dengan ‘darah sepakbola’ juga terdapat di pentas sepakbola Indonesia. Bakat mengolah si kulit bundar bahkan diturunkan kepada sang anak sedari kecil.
Siapa saja mereka? Berikut INDOSPORT merangkum sederet pasangan ayah dan anak yang berkiprah di persepakbolaan Indonesia, dalam rangka memperingati hari ayah yang jatuh hari ini, 12 November.
1. Jaya Hartono dan Gani Jaya Pradana Ramadan
Jaya Hartono dikenal sebagai pemain nasional yang pernah memperkuat PSMS Medan pada 1982 , Gresik United pada 1990-1991, Persisam pada 1998 hingga berseragam Persik Kediri pada 2000.
Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara ini akhirnya melanjutkan kiprahnya di dunia kulit bundar sebagai seorang pelatih, tepatnya bersama Persib Bandung medio 2008-2010. Karier kepelatihan Jaya sebenarnya cukup mentereng sebelum membesut Tim Maung Bandung.
Jaya pernah menjadi asisten pelatih Arema Malang pada 2000, melatih Persik Kediri pada 2001-2004, lalu pindah menukangi Persiba Balikpapan pada 2004-2005, hingga akhirnya menjadi pelatih Deltras Sidoarjo pada 2005-2008 sebelum akhirnya berlabuh ke Persib.
Setelah melatih Persib, Jaya sempat merasakan melatih tim ibu kota, Persija Jakarta pada 2011 yang lalu.
Darah sepakbola pun ditularkan kepada sang anak, Gani Jaya Pradana Ramadan, meski awalnya Jaya mengaku tak ingin sang anak menjadi pemain sepakbola.
Jaya bahkan pernah memaksa Gani untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan melarang anaknya tersebut bermain sepakbola.
“Dengan situasi sepakbola Indonesia seperti sekarang ini, wajar bila saja ingin masa depan anak saya lebih jelas. Saya memaksa Gani untuk ikut tes PNS, namun langkah ini membuat dia malah jadi stres sampai badannya kurus.”
“Ternyata anak saya tetap bersikeras ingin menjadi pemain sepakbola professional.”
Kini, Gani pun tergabung bersama klub yang dilatih sang ayah yakni Persepam Madura Utama. Di sana, Gani bermain di posisi bek kanan.
Meski melatih sang anak di Persepam, Jaya menginginkan Gani bermain secara profesional dan bekerja keras untuk menembus skuat utama. Jaya tak ingin Gani memanfaatkan nama besarnya di skuat Persepam.
Kini, Jaya melatih Persepam Madura Utama sekaligus anaknya, Gani di pentas Indonesia Soccer Championship B 2016. Di klasemen sementara Grup B ISC B, Jaya hanya membawa Persepam berada di peringkat ke-3 dengan catatak 5 poin dari 6 laga.
2. Sartono Anwar dan Nova Arianto
Sartono Anwar merupakan mantan pesepakbola Indonesia era 1970-an. Setelah memutuskan gantung sepatu pada 1972, ayah dari mantan pemain Persib Bandung, Nova Arianto ini akhirnya memilih menjadi pelatih sepakbola dari klub PSIS Semarang.
Bukan pilihan sulit bagi Sartono untuk menjadi seorang pelatih. Ia bahkan lebih memilih kembali bergelur di dunia si kulit bundar ketimbang harus menjadi pegawai di salah satu perusahaan minyak.
Meski terbilang tak terlalu sukses saat menjadi pemain, Sartono justru menorehkan prestasi bagus sebagai pelatih. Sartono sukses membawa PSIS meraih gelar juara Perserikatan pada 1987 yang lalu setelah mengalahkan Persebaya Surabaya.
Darah sepakbola tak hanya ia nikmati sendiri. Sartono menularkannya kepada sang anak, Nova Arianto. Pemain yang akrab disapa Vava itu mulai mengenal sepakbola saat sang ayah sering mengajaknya ke lapangan sepakbola tepatnya di Stadion Citarum, tempat Sartono biasa melatih para pemain PSIS akhir 1980-an.
Vava yang pernah memperkuat Timnas Indonesia, Persib Bandung, dan Sriwijaya FC itu, mendapatkan sesi latihan sepakbola dengan sang ayah sejak usia 12 tahun.
Menariknya, Vava kecil justru bermain sebagai seorang striker bukan sosok bek tangguh yang selama ini ditunjukkan di pentas sepakbola Indonesia.
“Saya paksa Nova latihan sepakbola sebagai striker hampir setiap sore karena ia bilang mau jadi pemain sepakbola,” kata ayah Nova Arianto, Sartono Anwar.
Diwarisi bakat bermain sepakbola oleh sang ayah, Vava pun terhitung sebagai salah satu bek hebat dalam sejarah persepakbolaan Indonesia terutama medio 2000. Kini, Vava yang tak lagi berstatus pemain profesional memutuskan untuk menjadi pelatih.
Berbekal lisensi kepelatihan B AFC, Nova kini tercatat sebagai pelatih kesebelasan Madiun Putra FC di ajang Indonesia Soccer Championship B 2016.
3. Harry Tjong dan Eduard Tjong
Eduard Tjong dikenal secara luas sebagai pelatih Timnas Indonesia U-19 yang baru saja tampil di Piala AFF U-19 2016. Sayang, Timnas U-19 gagal berbicara banyak di panggung sepakbola negara-negara Asia Tenggara itu.
Ternyata perjuangan Tjong untuk menjadi pelatih dicapai dengan cara yang tak mudah. Tjong memulai kiprahnya sebagai pemain. Menariknya, sang ayahlah, Harry Tjong yang mewarisi darah sepakbola kepada Eduard Tjong.
Harry sendiri merupakan sosok kiper legendaris Timnas Indonesia medio 1960-an. Harry yang besar bersama klub bernama Arseto FC itu dianggap berhasil menularkan kecintaannya terhadap si kulit bundar dengan keturunan di keluarganya.
Kepada dua orang cucunya, Andro Levandy dan Adixi Lenzivio, Harry mewarisi darah sepakbola. Bahkan ayah dari Andro dan Adixi, Adityo Darmadi juga merupakan eks Timnas Indonesia dan legenda Persija Jakarta. Keluarga besar Harry memang sangat kental dengan atmosfer sepakbola.
Kini, setelah menuntaskan tugas sebagai pelatih Timnas U-19, Eduard Tjong kembali menjadi pelatih di level klub. Eduard Tjong bakal mengarungi sisa musim kompetisi TSC 2016 bersama Persegres Gresik United.
4. Tan Liong Houw dan Wahyu-Budi Tanoto
Sebelum era kemerdekaan, pemain-pemain Tionghoa seperti Tan Mo Heng (kiper), Tan Hong Djien, dan Tan See Handi pernah merasakan tampil di panggung Piala Dunia 1938 bersama Hindia Belanda.
Setelahnya, para pemain Tionghoa tak pernah putus memberikan kontribusi untuk persepakbolaan Indonesia. Salah satunya adalah Tan Liong Houw, yang pernah mewarnai jagat sepakbola Tanah Air di era 1950-an.
Bermain sebagai gelandang, Tan Liong Houw sendiri adalah bagian dari generasi emas pertama di pentas sepakbola Indonesia. Ia tergabung bersama Skuat Garuda di ajang Olimpiade 1956 Melbourne. Pria berusia 86 tahun itu dikenal memiliki tekad yang kuat untuk membela Merah Putih
“Jangan tanyakan masalah nasionalisme orang-orang Tionghoa. Kami siap mati di lapangan demi membela Indonesia melalui sepakbola,” ungkap Tan Liong Houw seperti dikutip dari Four Four Two.
Bersama Skuat Garuda, Tan Liong berhasil membawa Timnas Indonesia ke babak perempatfinal Olimpiade 1956 Olimpiade. Di ajang pesta olahraga terbesar 4 tahunan itu, Timnas berhasil menahan imbang 0-0 Uni Soviet.
Tan Liong akhirnya memutuskan untuk gantung sepatu setelah gelaran Asian Games 1962 di Jakarta.
Sukses sebagai pemain sepakbola juga ditularkan Tan Liong atau Latief Harris Tanoto kepada dua anaknya di pentas sepakbola Indonesia, Wahyu dan Budi Tanoto. Tak tanggung-tanggung, Wahyu dan Budi berhasil menembus Timnas Indonesia di akhir 1970-an hingga pertengahan 1980-an.
Hebatnya lagi, Budi berhasil masuk dalam Skuat Garuda yang tampil di ajang Piala Dunia Junior (U-20) di Tokyo pada 1979. Sebagai seorang striker, Budi tergabung bersama Timnas Indonesia yang mencatatkan pencapaian terbaik dalam turnamen kelompok usia.
5. Yusuf Ekodono dan Fandi Eko-Wahyu Seto
Mirip seperti kisah sejumlah pasangan anak yang terinspirasi sang ayah di dunia sepakbola. Begitu juga dengan Fandi Eko dan Wahyu Seto yang mengikuti jejak sang ayah, Yusuf Ekodono untuk menjadi pesepakbola.
Yusuf sendiri merupakan legenda yang mulai bermain sepakbola dari klub internal Persebaya Surabaya, Indonesia Muda. Pada 1985, Yusuf promosi ke Persebaya Junior hingga setahun setelahnya, Yusuf berhasil menembus skuat senior Persebaya sekitar 1989.
Klub raksasa Indonesia yang berjuluk Bajul Ijo itu dianggap sebagai salah satu kunci kesuksesan sang ayah dan hal itu pun diakui oleh Fandi, yang kelak menjadi sosok pemain potensial Tanah Air.
Dalam merintis kariernya sebagai seorang pesepakbola, Fandi dan Wahyu tak ingin terganggu oleh nama besar sang ayah yang bersama Persebaya. Tak hanya bersama Persebaya, sang ayah juga pernah merintis karier bersama PSM Makassar, PSIS Semarang, dan Persijap Jepara.
Pada satu kesempatan, Yusuf pernah melatih kedua anaknya saat dirinya menjadi pelatih caretaker Persebaya versi ISL di ajang Divisi Utama 2012 yang lalu. Kala itu, Yusuf merasa tak enak hati karena melatih dua orang anaknya karena tak ingin dianggap memanfaatkan momentum sebagai pelatih yang memudahkan anak-anaknya.
Di level Timnas Indonesia, Yusuf pernah masuk dalam Skuat Garuda di pentas SEA Games 1991 Manila. Tak tanggung-tanggung, Yusuf berhasil mengantarkan Timnas Indonesia meraih gelar juara usai mengalahkan Thailand 4-3 lewat babak penalti di babak final.
Tak hanya itu, Yusuf juga kembali dipanggil untuk memperkuat Timnas Indonesia di bawah asuhan Rusdy Bahalwan di pentas Piala Suzuki AFF pada 1998 yang lalu.
Kini, Fandi Eko tercatat sebagai pemain Bhayangkara FC di pentas Torabika Soccer Championship 2016. Bersama Bhayangkara FC, pemain berusia 25 tahun itu berhasil tampil dalam 22 laga dan mencetak 1 gol dan 1 assist.
Sedangkan Wahyu Seto juga tercatat sebagai pemain Bhayangkara FC, satu tim dengan sang kakak, Fandi Eko. Wahyu sudah tampil sebanyak 19 laga dan mencetak 1 gol dan 3 assist.
6. Adityo Darmadi dan Adixi Lenzivio
Adityo Darmadi dikenal sebagai sosok legenda Persija Jakarta dan mantan pemain Timnas Indonesia era 1980-an. Bersama Persija, Adityo tumbuh sebagai sosok pemain yang menakutkan bahkan selalu menjadi teror dua pemain klub rival Persib Bandung, Robby Darwis dan Adeng Hudaya.
Di Persija, nama Adityo melambung tinggi setelah berhasil menyelamatkan Macan Kemayoran dari jurang degradasi di tahun 1985.
Lalu, pada tahun 1986, Persija bisa bangkit di Kompetisi Divisi Utama PSSI. Pencapaian Persija semakin menanjak sejak Adityo bergabung bersama Persija. Bahkan pemain yang identik dengan nomor punggung 8 itu menjadi top skor kompetisi dengan 10 gol.
Tapi sayangnya, Adityo tak mampu mengantarkan Persija juara setelah takluk dari Persebaya Surabaya dalam laga final tahun 1988
Sukses bersama Macan Kemayoran, Adityo membuktikan diri di level Timnas Indonesia. Adityo menjadi bagian dari Skuat Garuda di pentas Pra Piala Dunia 1986. Adityo juga merupakan salah satu anggota Tim Merah Putih saat berhasil menduduki posisi ke-4 Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan.
Tak hanya itu, Adityo juga ikut membawa Indonesia meraih medali emas di pentas SEA Games 1987 yang berlangsung di Jakarta.
Bakat sepakbola Adityo yang didapat dari sang mertua Harry Tjong, akhirnya diwariskan kepada dua orang anaknya, Andro Levandy dan Adixi Lenzivio. Pemain bertinggi badan 170 cm itu memulai karier di tim internal Persija, Menteng FC hingga jadi kiper utama Persija U-21 pada musim 2008/09.
Adixi akhirnya sukses menembus tim utama Persija Jakarta pada 2011. Ia akhirnya mendapatkan kesempatan bermain menggantikan kiper utama, Galih Sudaryono pada 6 Januari 2013 saat menghadapi Persisam Samarinda di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta.
Selama berseragam Macan Kemayoran, Adixi tampil sebanyak 8 kali. Tak hanya bersama Persija, Adixi juga menjalani debut bersama Timnas Indonesia U-23 saat menghadapi Jakarta All-Stars yang kala itu diperkuat gelandang AS Roma, Radja Nainggolan.
Saat dihubungi INDOSPORT, Adixi yang bermain di posisi kiper mengakui bahwa peran sang ayah sangat besar bagi dirinya untuk memulai karier di dunia sepakbola. Sejak kecil, pemain berusia 24 tahun itu sudah diajak sang ayah untuk bermain bola.
“Dari kecil, yang pasti ayah mengenalkan saya dengan sepakbola. Saat kecil, ayah memberikan saya bola, bukan mobil-mobilan atau hal lainnya kayak sebagian besar anak kecil,” ungkap Adixi Lenzivio kepada INDOSPORT.
“Saya bersama kakak saya dikasih bola untuk berlatih sepakbola. Apalagi, rumah saya dekat dengan rumah opa (kakek, Harry Tjong), yang juga pemain sepakbola. Ya sudah akhirnya kita pindah ke sebelah rumah opa jadinya ya ketemu bola lagi.”
“Dari situlah awalnya karena dikasih bola, ya jadinya sampai gede gini akhirnya jadi pemain bola.”
“Saya sebenarnya dulu main sebagai striker malah bukan kiper. Dulu gabung di SSB AS IOP, sekitar kelas 3 atau 4 SD gitu saya jadi striker.”
“Cuma pas latihan jadi kiper kok rasanya enak banget ya, bisa terbang-terbangan gitu. Terasa beda banget pas jadi kiper. Akhirnya konsultasi sama opa, apakah jadi kiper aja. Opa ngasih saran untuk jalani aja dulu. Ya sudah akhirnya jadi kiper sampai sekarang ini.”
“Di keluarga terutama ayah itu ngasih kebebasan untuk memilih apakah mau jadi pemain sepakbola atau mau jadi polisi, dokter atau yang lain. Yang jelas ayah ngasih kebebasan, apalagi sepakbola ditekuni sejak kecil, sudah jadi hobi lagi.”
Adixi kini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia mengaku tetap bertekad kembali merumput jika nanti Persija kembali merekrutnya untuk bermain di kompetisi baru pasca Torabika Soccer Championship 2016.
“Tekad saya kembali bermain sepakbola bersama Persija Jakarta musim depan jika kompetisi (liga) kembali bergulir. Persija sudah ada di hati saya karena menjadi klub pertama yang saya bela.”