Jejak UMS yang Terlupa: Klub Indonesia-Tionghoa, Piala Dunia, Persija, dan Timnas Merah Putih
DKI Jakarta, semua orang pasti tahu dengan kota tersebut. Jakarta merupakan Ibu Kota Indonesia. Segala aktivitas ada di kota yang dahulu bernama Batavia itu.
Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia. Tak ayal, Jakarta menjadi salah satu kota tersibuk di dunia.
Kemacetan dan aktivitas banyak orang dapat dilihat di sudut-sudut kota. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan roda dua dan empat.
Setiap trotoar serta alat transportasi baik kereta, bus, dan angkutan umum dipenuhi orang-orang yang melakukan aktivitas. Mereka berlari-lari untuk tidak terlambat ke sekolah dan kantor. Lalu terburu-buru untuk sampai rumah demi berkumpul menghabiskan sisa waktu sehari-hari bersama keluarga.
Jika ditelusuri setapak demi setapak, di setiap sudut Kota Jakarta pasti ditemui gedung-gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, pusat pendidikan dari sekolah dasar hingga universitas. Jarang sekali ditemui sepetak lapangan dan fasilitas olahraga.

Lapangan Petak Sinkian milik UMS.
Namun jika mau ditelusuri lebih dalam, ada beberapa lapangan olahraga yang masih bertahan di kerasnya Ibu Kota Jakarta. Salah satunya Stadion Union Makes Strength (UMS) Petak Sinkian.
Stadion UMS Petak Sinkian terletak di Jalan Ubi 10 C, Mangga besar, Tamansari, Jakarta Barat. Untuk sampai di stadion tersebut, harus melalui jalan sepetak yang tidak begitu luas.
Mobil harus bergantian saling mengalah dari dua arah untuk bisa melaju di jalan tersebut. Sepeda motor juga harus saling mengalah jika ada kepadatan atau kemacetan di sana.
Pemukiman padat penduduk dan wihara akan menghiasi perjalanan menuju Stadion UMS Petak Sinkian. Namun sesampainya di sana, rasa lelah akan terhapuskan.
Maklum, Stadion UMS Petak Sinkian merupakan lapangan sepakbola tertua di Jakarta. Sejarah sepakbola Jakarta bahkan Indonesia terukir di sana.
Stadion tersebut merupakan milik salah satu klub tertua di Jakarta, UMS. Klub tersebut didirikan pada tahun 15 Desember 1905.
Dahulu klub tersebut bernama Tiong Hoa Hwee Koan Scholar’s Football Club atau Pa Hoa FC. Sesuai namanya, UMS merupakan klub yang diisi etnis Tionghoa.
Lapangan Petak Sinkian milik UMS.
Dalam perkembangannya, UMS tumbuh menjadi klub yang menakutkan di Jakarta dengan sebutan yang boleh dibilang 'pabrik' bakat-bakat pesepakbola etnis Tionghoa dan Indonesia (pribumi).
Pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, patut disematkan untuk UMS, Timnas Indonesia, dan Persija Jakarta. UMS menjadi klub paling dominan penyalur pemain-pemain Persija dan Timnas mulai dari era 1930-an hingga 1970-an.
Tak bisa dipungkiri, Timnas dan Persija dihuni sejumlah pemain etnis Tionghoa dan Indonesia jebolan UMS. Etnis Tionghoa dan Indonesia jebolan UMS berperan besar dalam kejayaan Persija dan Timnas ketika itu.
Lalu bagaimana jalan kisah manis bak gula, UMS sebagai klub penghasil bakat-bakat pesepakbola hebat etnis Tionghoa dan Indonesia yang menghuni kejayaan Persija dan Timnas ketika itu?
INDOSPORT telah mengulasnya dalam sebuah edisi perdana investigasi sejarah dengan tajuk 'UMS: Indonesia-Tionghoa, Piala Dunia, Persija Jakarta, dan Timnas Indonesia'. Berikut ulasannya:
1. Sejarah UMS, Indonesia-Tionghoa, dan Kehebatannya di Era Hindia Belanda
Perkumpulan Olah Raga (POR) antar etnis sedang menjamur di Batavia pada tahun 1900-an awal, nama dahulu Jakarta. POR dijadikan ajang sosialisasi atau kelompok etnis tertentu melalui bidang olahraga.
POR ketika itu beraneka ragam, mulai dari etnis Tionghoa, Batak, Manado, Maluku, hingga Belanda. POR awalnya hanya membidangi cabang olahraga atletik, bola keranjang, bola sodok, hingga tenis.
Khusus etnis Tionghoa, salah satu POR yang berdiri di Jakarta adalah Tiong Hoa Oen Tong Hwee (THOTH). THOTH kala itu hanya berkecimpung di cabang olahraga atletik dan bola keranjang ketika itu. Maklum, sepakbola belum sepopuler atletik dan lain-lain.
Seiring perkembangannya, POR dari berbagai etnis mulai merambah ke cabang olahraga sepakbola. Tak kecuali yang dilakukan THOTH.
Lapangan Petak Sinkian UMS.
THOTH yang berdiri tanggal 15 Desember 1905, akhirnya membentuk klub sepakbola bernama Tiong Hoa Hwee Koan Scholar’s Football Club atau Pa Hoa FC. Pa Hoa FC didirikan pada tanggal 02 Agustus 1912.
Dua tahun berjalan, Pa Hoa FC berganti nama menjadi Union Makes Strength (UMS). Para pendiri akhirnya tetap menyematkan tanggal berdirinya POR THOTH sebagai awal dibentuknya UMS, 15 Desember 1905.
UMS dihuni etnis kaum Tionghoa. Mereka awalnya menyewa lapangan klub sepakbola Donar (Tjih Ying Hwei). Namun, UMS kemudian menyewa kebun milik pribumi bernama Haji Manah dengan tarif 6 gulden (mata uang zaman penjajahan Belanda) per bulan.
Setelah itu, dua di antara sekian banyak pendiri UMS, Oey Keng Seng dan Louw Hap Ic membeli lapangan tersebut dari Haji Manaf. Lapangan yang dahulu merupakan kebun singkong tersebut resmi dimiliki UMS.
UMS terus eksis di dunia sepakbola Hindia Belanda. UMS menjadi klub yang paling gemar melakukan pertandingan kandang di luar Jakarta.
"UMS sebuah klub sepakbola yang bisa dikatakan turun menurun. Ayah saya dulu di UMS. Ketika saya masih kecil, saya suka diajak lihat ayah saya main di UMS. Pokoknya pemain UMS, anaknya mesti masuk UMS," ungkap Ketua Pengurus UMS saat ini, Alex Sulaiman kepada INDOSPORT.
UMS dalam perkembangannya terus tumbuh menjadi klub besar di tengah menjamurnya tim-tim sepakbola berlandaskan etnis Tionghoa. UMS memiliki kompetisi internal sendiri.
"UMS dulu punya kompetisi internal sampai tingkatan ketujuh. Tingkatan itu berdasarkan level pemain. Bukan tingkatan umum," kata Alex.
"Persaingan klub dahulu kala sangat ketat. Antar etnis tidak mau kalah. Kalau etnis Maluku ada Bintang Timur, Horas dihuni etnis Batak, dan ada Mahesa dari etnis Manado," lanjutnya.
UMS memiliki musuh bebuyutan sesama klub sepakbola etnis Tionghoa bernama Chun Hwa Tjing Nen Hui, atau yang kini dikenal dengan sebutan Tunas Jaya. Chun Hwa Tjing Nen Hui didirikan pada tahun 1939.
Chun Hwa Tjing Nen Hui didirikan oleh pemain UMS yang merupakan ayah dari legenda Persija Tan Liong Houw, Tan Chin Hoat.
"UMS kalau bertemu Tunas Jaya, persaingannya ketat. UMS boleh kalah dari siapa saja, tapi tidak dari Tunas Jaya. Pelatih sendiri yang ngomong itu," ujar Alex.
Para mantan pemain UMS bermain sepakbola, mengenang nostalgia masa lalu.
UMS lalu bergabung di bawah naungan West Java Voetbal Bond yang kemudian menjadi Voetbal Bond Batavia Omstreken (VBO), perkumpulan sepakbola kaum Belanda, pada tahun 1920. UMS mampu menjuarai kompetisi VBO pada tahun 1930, 1932, 1933, 1934, 1937, 1938, dan 1949.
"Dulu saat UMS bermain, semua warga memadati stadion. Penonton sampai di batas garis lapangan. Tribun penuh semua," ungkap Alex.
2. Ikatan UMS dengan Hindia Belanda di Piala Dunia 1938
UMS terus mengembangkan sayapnya sebagai klub sepakbola etnis Tionghoa. Mereka bergabung dengan anggota Voetbal Bond Batavia Omstreken (VBO), perkumpulan sepakbola kaum Belanda, pada tahun 1920.
Namun di sisi lain, warga pribumi membuat perkumpulan sepakbola bernama Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) pada tanggal 28 November 1928. VIJ dibentuk untuk menandingi VBO.
Perkembangannya VIJ merupakan salah satu pendiri Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) bersama Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB) (Persib Bandung), Perserikatan Sepakraga Mataram (PSM, kekinian disebut PSIM Yogyakarta), Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) (Persis Solo), Madioensche Voetbal Bond (MVB) (PSM Madiun), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) (PPSM Magelang), dan Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB) (Persebaya Surabaya).
PSSI didirikan 19 April 1930, Belanda langsung merespon dengan membangun sebuah federasi sepakbola khusus pemerintahan Kolonial Belanda bernama Nederlandsch Indisch Voetbal Unie (NIVU).
Persaingan PSSI dan NIVU terus bergulir. Di satu sisi, UMS terus berkembang menjadi salah satu klub yang ditakuti di kalangan VBO. UMS mampu menjuarai kompetisi VBO pada tahun 1930, 1932, 1933, 1934, 1937, 1938, dan 1949.
Para pemain Hindia Belanda di ajang Piala Dunia 1938.
NIVU mencoba eksis dengan mengikuti Piala Dunia 1938 di Prancis. Hindia Belanda akhhirnya mengikuti turnamen empat tahunan paling bergengsi sepakbola dunia tersebut.
NIVU yang beranggotakan dari VBO lantas mencari pemain-pemain berbakat untuk masuk ke Hindia Belanda. VBO langsung mencari pemain yang ada di dalam kubu anggotanya, seperti UMS.
UMS mengirimkan bakat-bakat hebatnya ke Hindia Belanda. Sayang, nama-nama tersebut tidak tercantum dalam bukti autentik sejarah yang ada. Fakta tersebut hanya diingat dipikiran para pengurus UMS saat ini.
"Ada kayaknya jebolan UMS di Piala Dunia 1938, tapi paling banyak ketika menahan imbang Uni Soviet 0-0,” ujar Alex Sulaiman, Ketua Pengurus UMS saat ini.
Nama-nama pemain yang tercantum di Hindia Belanda pada ajang Piala Dunia 1938 adalah kapten kesebelasan Achmad Nawir (HBS Soerabaja), Tan 'Bing' Mo Heng (HCTNH Malang), Anwar Sutan (VIOS Batavia), hingga G. van den Burgh (SVV Semarang). Nama-nama tersebut berasal dari klub-klub etnis anggota VBO.
3. Awal Mula Ikatan Batin UMS dan Persija Jakarta
Perlahan sepakbola Indonesia di zaman kolonial Belanda menunjukkan persaingan ketat antara pribumi dan etnis Belanda.
PSSI resmi mendirikan kompetisi Perserikatan pada tahun 1931. VIJ keluar sebagai juara perdana ketika itu. Kemudian VIJ terus menjadi juara Perserikatan di 1931, 1933, 1934, dan 1938.
Perkembangan politik juga turut mempengaruhi dunia bal-balan Tanah Air di era Kolonial Belanda. Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 membuat eksistensi klub-klub pribumi lebih tinggi ketimbang kolonial Belanda.
Persija Jakarta di tahun 1950-an.
Di satu sisi, UMS akhirnya mampu menjuarai kompetisi VBO pada tahun 1949. Ini merupakan gelar ketujuh di kompetisi VBO. Sebelumnya, UMS menjadi juara pada tahun 1930, 1932, 1933, 1934, 1937, dan 1938.
Meski sudah merdeka, NIVU belum mengakui PSSI. Maklum, ketika itu Belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia secara De Facto (Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara lain yang telah memenuhi unsur-unsur negara, seperti ada pemimpin, rakyat dan wilayahnya).
Waktu demi waktu berlalu, Belanda mengakui Indonesia secara De Jure (pengakuan terhadap suatu negara secara resmi berdasarkan hukum dengan segala konsekuensi atau pengakuan secara internasional).
Runtutan peristiwa politik tersebut membuat VBO mengadakan pertemuan bersama anggota NIVU lainnya pada pertengahan 1951. VBO berserta anggota NIVU lainnya resmi mmebubarkan diri. Riwayat NIVU pun berakhir sudah.
VBO akhirnya bergabung dengan VIJ. Bergabungnya VBO dengan VIJ, membuat para anggotanya termasuk UMS juga turut ikut bagian.
UMS dan Tunas Jaya beserta klub etnis lainnya bergabung dengan VIJ yang kemudian berganti nama menjadi Persija Jakarta pada tahun 1950. Itulah awal mula UMS mulai mencetak pesepakbola berbakat warga pribumi. Mohammad Djamiat Dalhar, yang tinggal di Tanah Abang menjadi warga pribumi pertama yang masuk ke dalam UMS.
UMS dan klub lainnya kemudian mengikuti kompetisi Persija. Dari sanalah, jebolan pemain UMS masuk ke dalam era kejayaan Persija.
UMS berubah wujud menjadi klub yang merajai kompetisi Persija pada tahun 1952 dan 1953. Para pemain jebolan UMS pun masuk ke dalam bagian skuat Persija. Sebut saja A.W. Van der Vin, Djamiat Dalhar, Chris Ong, Thio Him Tjiang, dan Kwee Kiat Sek.
"Dari awal kami sudah terbuka dengan kaum pribumi. Di sinilah awal jebolan UMS adalah pemain Timnas dan Persija. Itu tidak boleh dipungkiri, karena ini bagian sejarah," ungkap Alex Sulaiman kepada INDOSPORT.
Tak hanya UMS, Tunas Jaya menjadi saingan UMS dalam mengirimkan bakat-bakat pesepakbolanya ke Persija.
"UMS itu penghasil pemain Timnas dan Persija. Dulu ada kompetisi internal Persija. UMS partisipasi di sana. Jadi pemain UMS dipantau. Kalau klub etnis Tionghoa dulu hanya ada dua yang bagus, UMS dan Tunas Jaya," ujar Alex.
Berkat sentuhan pemain UMS, Persija akhirnya mampu kembali menjuarai Perserikatan tahun 1954 dan 1964. Pemain-pemain UMS yang ambil bagian dalam kejayaan tim Macan Kemayoran tersebut adalah Reni Salaki, Chris Ong, A.W. Van der Vin, Djaminiaat Dhalhar, Liem Soe Liong (Surya Lesmana), Thio Him Tjiang, Yudo Hadianto, Fam Tek Fong (Mulyadi), Didik Kasmara, dan Kwee Kiat Sek.
Persija kembali menjadi juara Perserikatan tahun 1973, 1975, dan 1979. Satu figur kunci kesuksesan tim Oranye yang berasa dari jebolan UMS adalah Risdianto. Ia bersama Iswadi Idris, Rony Paslah, Anjas Asmara, Sutan Harhara, dan Oyong Liza bahu membahu menjadikan klub Ibu Kota Jakarta itu raja sepakbola di Indonesia.
"Ada pemain-pemain macam Reni Salaki hingga Risdianto merupakan jebolan UMS untuk kejayaan Persija," ujar Alex.
Legenda UMS, Persija Jakarta, dan Timnas Indonesia, (Alm) Drg. Endang Witarsa.
Namun, satu nama yang patut dibilang sebagai aktor utama kejayaan Persija dari UMS adalah (Alm) Drg. Endang Witarsa (Liem Soen Joe). Ia merupakan pelatih Persija dari tahun 1962 posisi Wuwungan yang dinilai gagal di kompetisi Perserikatan tahun 1958 dan 1959.
Penunjukan (Alm) Endang Witarsa sebagai pelatih Persija tak terlepas dari sukses UMS menjuarai kompetisi Persija di tahun 1960 dan 1961. Di bawah asuhannya, UMS menjadi juara tanpa kekalahan ketika itu.
Dengan materi pemain muda, dokter membuktikan tangan dinginnya mampu mengangkat prestasi Persija. Si Merah Putih dibawanya juara tanpa terkalahkan dengan rekor gol fantastis 34-3. Selain juara, gelar Persija terasa lengkap setelah Soetjipto Soentoro meraih gelar top skor dengan 16 gol. Musim yang lengkap bagi Persija dan Dokter pada Perserikatan tahun 1964.
4. UMS, dari Persija ke Kejayaan Timnas Pasca Kemerdekaan
UMS dalam perjalanannya sebagai pabrik pemain berbakat Persija, juga turut menyumbangkan pesepakbola untuk Timnas. Salah satu nama yang mencuat adalah Mohammad Djamiat Dalhar, orang pribumi pertama di UMS pada tahun 1950.
Mohammad Djamiat Dalhar adalah anak kandung dari Soedarmadji, pemain yang memperkuat Hindia Belanda pada ajang Piala Dunia 1938. Djamiat Dalhar menjadi sosok tandem sang legenda sejati sepakbola Indonesia, Andi Ramang di Timnas Indonesia tahun 1950-an.
Djamiat bersama Ramang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet 0-0 pad ajaang Olimpiade Melbourne 1956 di Australia. Tak hanya Djamiat, UMS juga mengirimkan sejumlah nama ke kejayaan Timnas ketika itu, sebut saja (Alm) Drg. Endang Witarsah, hingga Kwee Kiat Sik dan Thio Him Tjiang.
"Kalau di Piala Dunia 1938, pemain UMS sepertinya ada. Tapi, paling banyak di Olimpiade Melbourne 1956 saat menahan imbang Uni Soviet tanpa gol," ujar Alex.
Timnas Indonesia saat menahan imbang Uni Soviet 0-0.
UMS terus menjadi pabrik pemain kejayaan Timnas. Lalu Skuat Garuda bahkan ditangani (Alm) Endang Witarsa pada tahun 1967. Sang dokter yang membawa kejayaan Persija di Perserikatan tahun 1964, memanggil para pemain tim Macan Kemayoran jebolan UMS untuk menghuni Skuat Garuda. Para pemain itu adalah Peng Hong, Kwee Kiat Sek, Risdianto, Yudo Hadianto, Reny Salaki, dan Surya Lesmana.
Alhasil, sang dokter membawa Timnas menjadi juara Aga Khan Cup di Dacca, Pakistan (1967), Merdeka Games di Kuala Lumpur 1969, Kings Cup di Bangkok 1970, Anniversary Cup III di Jakarta 1972, Pesta Sukan di Singapura (1972), dan President Cup di Korea Selatan (1973).
Perjalan UMS masih panjang dalam perjalanan sepakbola Indonesia, terutama ke Timnas dan Persija. Artikel selanjutnya akan kembali dihadirkan di INDOSPORT dalam tajuk 'UMS: Bakat-bakat Sepakbola ke Timnas Era Modern, dan Jalan Terjal Eksistensi'.