Berkecamuk, Dortmund Jadi 'Korban' Politik Jerman dan Turki
Hubungan internasional antara Jerman dan Turki kian hari kian memanas. Terakhir, salah satu klub raksasa Bundesliga, Borussia Dortmund, menjadi 'korban' dari situasi panas yang terjadi di antara kedua negara tersebut.
Salah satu Twitter resmi klub raksasa Bundesliga, Borussia Dortmund, dikabarkan sempat diretas dan menampilkan logo Nazi di cuitannya. Dilansir oleh AS, peretasan yang terjadi pada Twitter resmi Dortmund, @BVB, merupakan langkah licik yang digunakan untuk kepentingan politik.
Pasalnya, cuitan yang dikeluarkan oleh akun Twitter Dortmund berisikan tentang dukungannya kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Peretasan tersebut dilakukan pada tanggal 15 Maret waktu setempat.
Tak bertahan lama, pihak Dortmund pun memberikan klarifikasinya terkait diretasnya akun Twitter resmi mereka, sekaligus memberikan pernyataan di dalamnya.
“Terima kasih atas perhatiannya! Kita langsung menghapus cuitannya, yang merupakan hasil serangan dari pihak luar,” tulis pernyataan Dortmund di Twitter resminya, @BVB.
Tidak hanya Dortmund saja yang menjadi 'korban' politik antar dua negara tersebut, terdapat pula mantan petenis nomor 1 dunia asal Jerman, Boris Becker. Akun Twitter resminya, @TheBorisBecker, sempat diretas oleh simpatisan Erdogan dan menampilkan logo Nazi di ciutannya.
“Twitter saya telah diretas!!! Saya tidak pernah mem-posting sesuatu seperti ini dan tentunya saya tidak bisa Bahasa Turki…” tulis Becker di akun Twitternya, @TheBorisBecker.
Sekadar informasi, ketegangan Turki dengan Jerman bermula saat terjadinya pelarangan politikus AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi atau Partai Keadilan dan Pembangunan), Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu dan Menteri Urusan Keluarga, Fatma Betul Sayan Kaya, untuk berkampanye perihal referendum Turki yang akan diadakan pada 16 April 2017 di Turki.
Kampanye tersebut bertujuan untuk komunitas warga Turki yang berada di wilayah negara Jerman. Namun Kanselir Jerman, Angela Merkel, menolak akan aksi tersebut dan mengeluarkan larangan kunjungan menteri dari Turki untuk kampanye politik nasional mereka.
Referendum Turki sendiri merupakan penentuan apakah kekuasaan seorang presiden di Turki diperluas atau tidak. Belanda dan Jerman tidak mengizinkan acara semacam itu karena berpotensi mengganggu ketertiban umum di wilayahnya.