Kartini dan Galanita dalam Perjalanan Bola Indonesia
Sepakbola ternyata sudah mulai digeluti oleh kaum hawa sejak lama, terlebih di Indonesia. Atmosfer sepakbola di Indonesia yang begitu fanatik tak bisa dipungkiri juga membuat wanita ingin memainkan si kulit bundar.
Di Indonesia, sepakbola memang selalu identik dengan pria. Memang sedikit berbeda dengan negara Eropa yang sudah memainkan sepakbola wanita pada medio 1950-an. Sepakbola wanita di Indonesia, sejatinya mulai tumbuh pada 1960-an akhir.
Meski demikian, prestasi mereka pun tergolong baik di level internasional. Beberapa arsip sejarah memang jarang mencatat nukilan sejarah bola wanita Indonesia. Namun, pencapaian Timnas Wanita di ajang Piala Asia Wanita 1977 terbilang baik.
Turnamen yang diadakan di China itu memang menjadi yang pertama bagi Timnas Wanita. Hasilnya, mereka mengalahkan Jepang dengan skor tipis 1-0. Timnas Wanita akhirnya menempati peringkat keempat, setelah di perebutan peringkat ketiga takluk dari Singapura.
Setelah torehan gemilang di 1977, sepakbola wanita Indonesia kembali ke pentas Asia pada tahun 1981. Sayang pencapaiannya tak gemerlap seperti Piala Asia sebelumnya. Baru pada tahun 1986, Timnas Wanita kembali meraih peringkat keempat di Piala Asia yang diselenggarakan di Hongkong.
Gemilang di babak penyisihan, Indonesia menemui benteng kuat, yakni China. Mental cukup berpengaruh melawan tim raksasa China. Hasilnya, Meutia Datau dkk, kalah dengan skor telak 0-9. Kesempatan meraih peringkat ketiga pun kandas setelah kalah dari Thailand 1-4.
Tahun 1989 menjadi tahun terakhir Timnas Wanita berlaga di ajang Piala Asia. Di edisi tersebut, Indonesia tak lolos dari babak penyisihan. Mereka pun pulang lebih awal dan gagal mempertahankan prestasi di edisi sebelumnya.
Turnamen pertama wanita diadakan
Demi terus menggairahkan sepakbola wanita yang mulai marak, PSSI meluncurkan Piala Kartini tahun 1981 dan Invitasi Liga Sepakbola Wanita (Galanita) pada tahun 1982. Pada era kepemimpinan Sjarnoebi Said, PSSI memang ingin sepakbola menjadi denyut nadi masyarakat sepakbola, terutama dari kalangan kaum hawa.
Sejarah tercipta dengan diresmikannya turnamen sepakbola wanita Piala Kartini edisi perdana pada 1981. Turnamen atau kompetisi sepakbola wanita tersebut secara resmi digelar PSSI. Tujuannya jelas, untuk memajukan sepakbola wanita Indonesia.
Prestisenya, saat itu bisa dibilang Indonesia menjadi negara Asia Tenggara yang serius menggarap turnamen sepakbola wanita.
Piala Kartini I 1982 diselenggarakan pada 23-27 Mei 1981. Tercatat ada empat tim yang ikut serta yaitu Putri Priangan (Bandung), Putri Pagilaran (Pekalongan), Sasana Bakti (Surabaya), dan tuan rumah Buana Putri (Jakarta).
Pertandingan Piala Kartini diadakan di Stadion Pluit, Jakarta Utara. Antusiasme publik sepakbola Indonesia akan hadirnya Piala Kartini cukup besar. Meski kemunculan sepakbola wanita sudah semarak sejak dulu, tapi atmosfer turnamen resmi baru kali ini dirasakan oleh klub-klub peserta.
Galanita dan Buana Putri sebagai raksasa sepakbola wanita
Jauh sebelum Piala Kartini 1981 berakhir, dilansir dari Kompas edisi 25 Mei 1981, Buana Putri sudah tercatat sebagai peserta Piala Asia Wanita 1981.
Menarik memang, mengingat semua pemain terbaik wanita berkumpul di Buana Putri. Namun, mereka bukannya tanpa perlawanan. Beberapa klub sepakbola wanita tampil dominan untuk meruntuhkan dominasi Buana Putri di Indonesia.
Di edisi perdana Piala Kartini, Buana Putri seperti tak tertahan di babak penyisihan. Mereka dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Dalam laga final Buana Putri menggondol gelar juara setelah gol tunggal Katherina menerjang gawang Putri Priangan.
Begitu juga dengan dalam Invitasi Galanita 1982. Buana Putri lagi-lagi menunjukkan kualitasnya. Namun kali ini, Buana Putri menghadapi pertandingan yang lebih panjang.
Invitasi Galanita 1982 diselenggarakan pada 21-31 Oktober 1982 yang dibuka secara resmi oleh Menko Kesra, Surono yang juga dihadiri Gubernur DKI Jaya, Soeprapto dan Ketua Umum PSSI Sjarnoebi Said. Tujuan diadakannya Invitasi Galanita 1982 tersebut yaitu ingin menghimpun 30 pemain untuk Piala Asia Wanita edisi kelima.
Invitasi Galanita 1982 diikuti sembilan tim yaitu Buana Putri (Jakarta), Putri Jaya (Jakarta), Putri Priangan (Bandung), Putri Pagilaran (Pekalongan), Putri Mataram (Yogyakarta), Mojolaban (Sukoharjo), Putri Setia (Surabaya), Anging Mamiri (Makassar), dan Putri Cendrawasih (Jayapura).
Melewati babak penyisihan grup dan semifinal, Buana Putri akhirnya menggondol gelar juara Galanita 1982 dengan melumat Putri Pagilaran dengan skor 4-0 di Stadion Kuningan, Jakarta Selatan atau yang sekarang kita kenal dengan Stadion Soemantri Brodjonegoro.
Kembali bangkit dari kubur
Sepakbola wanita Indonesia memang sempat tertidur panjang. Usai meraih perunggu dalam cabang olahraga sepakbola di SEA Games 1997 dan 2002, sepakbola wanita seperti kehilangan nadinya. Gairah sepakbola wanita seperti menurun saat itu. Tak seperti basket wanita yang terus berkembang, kegiatan sepakbola wanita terhenti begitu saja tanpa jenjang yang jelas.
Invitasi-invitasi antar kampus memang ramai, namun PSSI tak menggarap serius sepakbola wanita. Privatisasi seperti futsal memang sudah diberikan saat itu kepada pemegang tanggung jawab sepakbola wanita, tapi hasil tetap nihil.
Baru-baru ini, sepakbola wanita kembali menggeliat dengan hadirnya Bengawan Cup 2017 di Solo dan Piala Nusantara Putri 2017 di Jepara. Penggagasnya adalah adalah CEO Persijap Jepara, Esti Puji Lestari.
Piala Putri Nusantara 2017 digadang-gadang sebagai awal menuju digelarnya liga sepakbola wanita karena selama ini jarang ada kompetisi resmi yang digelar untuk mewadahi sepakbola putri. Bahkan ajang Piala Putri Nusantara 2017 juga sebagai persiapan menuju Piala AFF U-15 Wanita 2017.
Gairah tersebut memang tercium oleh pemerintah. Sebelumnya, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menginginkan Galanita kembali digulirkan PSSI tahun ini.
Sepakbola wanita Tanah Air seakan mati suri dalam satu dekade terakhir. Pemerintah ingin menghidupkan kembali sepakbola wanita di Tanah Air. Potensi besar sepakbola wanita memang harus dikembangkan dengan baik. Jika tidak, maka sepakbola wanita bakal terus-menerus tertidur pulas.