Wiwi Kusdarti, Sang Kartini di Sepakbola Wanita
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tengah berusaha membangkitkan sepakbola wanita. Tak cuma ingin menggulirkan roda kompetisi, PSSI juga punya ambisi besar agar Timnas Sepakbola Wanita Indonesia dapat masuk empat besar ASEAN.
Meski selama ini sepakbola wanita di Indonesia tak bergairah, permainan ini sempat menjadi perhatian pada akhir 1960-an. Adalah Wiwi Hadhi Kusdarti, perempuan yang saat ini berusia 78 tahun, yang menjadi pelopornya.
Wiwi juga antusias dengan kabar bergulirnya kompetisi sepakbola wanita di Indonesia. Ia mengaku ingin menyaksikan langsung pertandingan yang dulu pernah dijalaninya.
"Kalau bisa, nanti tendangan pertama sama aku deh, biar inget lagi masa lalu," kata Wiwi saat ditemui INDOSPORT di kediamannya.
Ia berharap, sepakbola wanita di Indonesia tak kalah dengan yang terjadi di negara-negara lain. Namun demikian, ia pun berharap aktivitas ini tak membuat para pemainnya kehilangan jati diri sebagai wanita.
Di masa tuanya, Wiwi yang dikenal dengan nama Mace, masih aktif menjalani aktivitas. Selain bermain piano yang menjadi hobinya, Wiwi juga sibuk mengurus kafe yang dinamai Rumah Mace di daerah tempat tinggalnya di Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.
Bagaimana kiprah Wiwi dalam dunia sepakbola Indonesia, dan harapannya pada wanita Indonesia? Berikut INDOSPORT sajikan ulasannya.
1. Bermula dari Hobi
Wiwi Hadhi Kusdarti tak berniat melawan fitrah perempuan saat mengirimkan surat pembaca yang dimuat surat kabar ternama di Jawa Barat, pada 16 Januari 1969 silam. Niatnya semata-mata ingin menyalurkan hobi bermain bola yang diwariskan sang ayah, Ir Kadarisman, yang pada masanya, menjadi satu dari dua pemain pribumi dalam sebuah klub Belanda di masa kolonial.
Semasa duduk di bangku sekolah setingkat SMA dulu, Wiwi juga tak jarang ikut bermain sepakbola dengan teman-teman sekolahnya. Kala itu, teman sekelasnya didominasi murid laki-laki, dengan dua orang saja murid perempuan, termasuk Wiwi. Tak heran setelah membaca wacana pembentukan tim sepakbola wanita di media, Wiwi pun mengirimkan surat pembaca dan mendorong agar wacana tersebut segera direalisasikan.
"'Oleh sebab itu, saya mengajak kaum wanita Indonesia, terutama yang berada di Bandung ini yang berminat dalam lapangan sepakbola, untuk bersama-sama membentuk kesebelasan dan berlatih, misalnya di bawah pimpinan Persib sendiri,'" tulis Wiwi dalam surat pembaca tertanggal 16 Januari 1969.
"Aku padahal ingin sekali maen, tapi siapa temennya. Makanya saya bikin pikiran pembaca di koran," kata Wiwi saat ditemui INDOSPORT di kediamannya di Desa Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.
Umpan balik dari Wiwi ini ditangkap pimpinan klub sepakbola Putra Priangan, H. Mahdar, yang klubnya berada di bawah Persib. Pada masa itu, Persib memayungi sejumlah klub pribumi yang berada di wilayah Bandung.
Mahdar dan Persib tahu pembentukan tim sepakbola wanita akan menimbulkan banyak tentangan. Hanya saja, tekad Wiwi yang menyatakan siap menanggung segala risiko, membuat mereka akhirnya resmi membentuk kesebelasan sepakbola wanita pertama di Indonesia, Putri Priangan, pada 5 Februari 1969. Wiwi mendapat nomor punggung 10 dan menempati posisi sayap kiri dalam formasi 5-3-2 yang kerap dimainkan pelatih.
2. Kecaman dan Cercaan
Tim Putri Priangan berlatih di Stadion Siliwangi tiga kali sepekan. Wiwi yang saat itu berusia 29 tahun, membuktikan komitmennya untuk menjadi pemain sepakbola. Sebelum menjalani latihan pada pukul 16.00, pagi hingga pukul 15.00, Wiwi bekerja di salon sebuah hotel ternama di Bandung kala itu.
Sebab tak pernah ada sebelumnya, tim Putri Priangan selalu menarik banyak perhatian. Meski dilakukan diam-diam, para penonton selalu memadati lapangan.
Hanya saja, meski dianggap menarik, sepakbola wanita saat itu tetap dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang dilakukan wanita terhadap fitrah mereka. Terlebih, pakaian minim yang mereka kenakan, dianggap tak sesuai dengan budaya timur.
Meski bersorak di pinggir lapangan, para penonton juga mencibir para pemain. Wiwi pun tak jarang mendengar komentar negatif dari para penonton yang membuatnya panas telinga.
Sejumlah media juga menyoroti hal ini. Koran Realita menulis bahwa masyarakat banyak yang menganggap betis dan paha wanita, tak pantas untuk bermain sepakbola. Hal ini disebabkan anggapan bahwa bermain sepakbola akan merubah bentuk estetis betis dan paha wanita.
Namun yang lebih menyakitkan bagi Wiwi, adalah tudingan bahwa sepakbola wanita akan meruntuhkan akhlak dan budi pekerti bangsa. Atas pandangan ini, Pengurus Besar Front Mubaligh Islam Medan ini pun meminta agar pemerintah melarang adanya sepakbola wanita.
3. Tumbuh Berkembang
Meski mendapat tanggapan negatif, sepakbola wanita justru tumbuh dan berkembang. Kemunculan tim Putri Priangan di Bandung, segera diikuti sejumlah kota lain. Tim-tim sepakbola wanita bermunculan mulai dari Jakarta, Malang, Jogja, bahkan hingga ke Ambon.
Namun saat belum ada tim lain, pertandingan pertama yang dilakoni Putri Priangan, sekaligus pertandingan sepakbola wanita pertama di Indonesia, adalah melawan Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Bandung.
Putri Priangan yang didukung pemain dengan beragam latar belakang, mulai ibu rumah tangga, pelajar, dan karyawati, menang 2-1 pada pertandingan perdana tanggal 18 Maret 1969. Namun pada laga kedua satu pekan kemudian, mereka berhasil ditahan imbang 1-1 oleh SMOA.
4. Dukungan dan Jamuan
Meski menerima kecaman, dukungan dan sambutan terhadap sepakbola wanita pun semakin besar. Putri Priangan kerap menerima undangan pertandingan dari tim-tim lain. Tak cuma di Indonesia, Wiwi dan kolega juga ditantang tim-tim dari luar negeri yang penasaran menjajal kemampuan tim yang baru seumur jagung ini.
Pada 13 April 1969, Putri Priangan kalah 0-5 dari tim putri asal Malaysia, Penang. Itu merupakan pertandingan pertama mereka melawan tim luar negeri. Namun setahun kemudian, menjamu Timnas wanita Singapura di Stadion Siliwangi, Putri Priangan berhasil unggul 2-1.
Selain dari penonton, Wiwi dan rekan juga mendapat sambutan dari pejabat setempat dalam setiap pertandingan. Mereka juga selalu diundang dalam jamuan makan malam usai pertandingan. Para istri pejabat juga memberi apresiasi positif bagi para pemain.
5. Tetap Rapi dan Wangi
Meski melakukan aktivitas laki-laki, Wiwi tak mau tim Putri Priangan kehilangan identitasnya sebagai wanita. Sebagai orang yang dituakan oleh rekan-rekan setimnya, Wiwi selalu mengingatkan agar mereka selalu menjaga sisi kewanitaan.
Para pemain bahkan selalu diminta menjaga penampilan, meski berada di dalam lapangan. Mereka bahkan tetap diminta untuk berdandan meski akan melakukan kegiatan yang menimbulkan keringat. Karena istri-istri pejabat kerap bersalaman dan memeluk mereka usai pertandingan, mereka pun diminta untuk tak lupa memakai pewangi.
"Kalau main, rambut harus diiket, biar rapi. Pakai lipstik, pakai pewangi, karena ibu-ibu pejabat suka menyalami kita setelah pertandingan. Tapi nggak usah pakai bedak, karena kan nanti keringetan," tutur Wiwi.
6. Menjaga Kebaya
Selain di dalam lapangan, penampilan di luar lapangan juga jadi perhatian. Tim Putri Priangan selalu membawa kebaya, sebagai pakaian ganti yang akan digunakan dalam jamuan makan malam. Wiwi yang berpengalaman bekerja di salon, dengan sukarela menjadi penata rambut setiap pemain.
Saat memeriahkan hari kemerdekaan Singapura, Wiwi dan kawan-kawan juga tak lupa membawa kebaya. Uniknya, setelah tampil di lapangan hijau, ada acara hiburan berupa tarik tambang.
Tim Putri Priangan yang tak melakukan persiapan, juga diminta turun untuk mengikuti lomba tarik tambang. Hebatnya, dengan memakai kebaya, mereka adu tarik tambang, dan berhasil menjadi pemenang.
"Kita memang bukan cuma ingin menonjolkan permainan, tapi kita ingin menunjukkan bahwa kita bisa, perempuan Indonesia yang dulu dibilang lemah," kata Wiwi.
"Nanti kalau sudah jadi jagoan, kuat, kita tidak melupakan kewanitaan kita," ucapnya menegaskan.