Mengenang Tergusurnya Stadion Lebak Bulus Lewat Buku 'Sanggraha'
"Buku ini didedikasikan untuk semua orang yang pernag berada di Stadion Lebak Bulus." Itulah kalimat pertama yang ditulis Nugroho Sejati, sang pembuat buku fotografi di halaman pembuka buku yang berjudul ‘Sanggraha’.
Nugroho merupakan seorang suporter Persija Jakarta. Ia juga bekerja sebagai pewarta foto di salah satu media sejarah terbesar di Indonesia.
Stadion Lebak Bulus telah rata dengan tanah sejak 2015. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat Nugroho untuk kembali mengenang masa-masa pilu tersebut.
Robohnya Stadion Lebak Bulus kemudian dijadikan sebuah buku fotografi oleh Nugroho. Prosesnya sangat panjang. Membutuhkan waktu kurang lebih setahun untuk menyusun foto demi foto agar makna yang tersempil dapat diresapi dengan baik oleh para pembacanya.
Nugroho seorang yang profesional. Dalam buku ini juga ia titipkan makna kritik yang medalam terhadap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang hobi menggusur.
Sebelum digusur, Stadion Lebak Bulus menjadi pesta perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) the Jakmania pada Desember 2014 lalu. Perayaan tersebut turut berbarengan dengan launching tim Persija Jakarta jelang mengikuti kompetisi Liga Indonesia musim 2015.
Seakan menjadi salam perpisahan sebelum digusur, ratusan hingga ribuan pesan tercoret pada dinding-dinding stadion yang seakan tinggal menunggu ajal. Nugroho mengabadikan momen tersebut dengan mengambil foto pada titik-titik penting stadion sarat sejarah itu.
Salah satunya ialah coretan ‘Selamat Tinggal Stadion Lebak Bulus’ di sisi Tribun Timur. Selain itu, tulisan ‘We Make History’ pada dinding setengah roboh juga tak luput dari pantauan Nugroho.
Berikut INDOSPORT mencoba mengisahkan proses pembuatan buku ‘Sanggraha’ langsung dari penulisnya, Nugroho Sejati.
1. Mengapa Stadion Lebak Bulus?
Nugroho mengisahkan, kedekatan emosional dengan Stadion Lebak Bulus menjadi alasan terkuat. Sebab, Nugroho merupakan suporter yang lahir dan tumbuh di stadion bersejarah itu.
“Basic gue fotografer, jadi tertarik untuk membuat proyek gede, proyek panjang yang dipikirin dari dulu tentang stadion. Kebetulan Stadion Lebak Bulus punya ikatan emosional banget sama gue. Pertama kali gue nonton bola, ya di Stadion Lebak Bulus. Ada informasi kelas buku foto, dan itu seleksi. Sulit untuk menulis buku dengan tulisan hanya untuk stadion, pasti ketebalannya juga tidak banyak,” ucap Nugroho di sela-sela peluncuran buku ‘Sanggraha’ di Gueari Galeri, Pasar Santa, Jakarta Selatan, Sabtu (29/04/17) malam WIB.
“Buku ini dijual untuk umum dengan harga Rp190. Bisa membeli langsung ke gue atau Gueari Galeri. Kita juga tengah dalam penjajakan kerja sama dengan akun-akun Persija,” tambahnya.
Buku ‘Sanggraha’ diterbitkan oleh penerbit Gueari Galeri. Nugroho bercerita, proses membuat buku tersebut lumayan memakan waktu. Dari pengambilan foto hingga dituangkan dalam buku.
“Diterima oleh penerbit Gueari Galeri. Dari awal motret, pada 2014. Sekitar bulan Oktober 2014. Proses bikin bukunya setahun. Karena gue juga punya pekerjaan, dan tidak melulu fokus terhadap pekerjaan menulis buku. Banyak kendala waktu juga,” kata Nugroho.
“Foto sebagian besar disunting olehkurator. Kita menyajikan pesan-pesan dan curahan hati suporter sebelum Stadion Lebak Bulus dirobohkan. Bagaimana rasanya kehilangan stadion,” sambungnya.
‘Sanggraha’ merupakan buku pertama buah karya alumnus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jurusan Sastra Bahasa itu. Sebagai seorang suporter Persija dari kecil, Nugroho ingin memberikan kontribusi terhadap klub kebanggaannya tersebut.
“Ini pertama gue membuat buku. Senang dan lega bisa membuat buku fotografi ini, karena gue juga suporter. Walaupun gak banyak, gue punya sumbangsih untuk klub yang gue banggakan. Stadion Lebak Bulus sudah gak ada kan nih, gue pengen, orang-orang masih inget. Oh dulu di Depo MRT pernah ada stadion yang gayanya British banget. Jarang di Indonesia stadion yang memiliki tribun kotak dan tanpa trek lari. Lega rasanya,” imbuh Nugroho.
Pada awalnya, Nugroho menginginkan adanya kerja sama dengan elemen suporter dan tim Persija pada pembuatan bukuya. Namun, hal itu tidak jadi terealisasi akibat tak adanya jawaban atas tawarannya tersebut.
“Pembuatan buku ini tadinya ingin melibatkan elemen suporter dan tim Persija. Sempat coba ke organisasi the Jakmania, tapi karena responsnya terlalu lama akhirnya tidak jadi. Pengen juga ada testimoni Bambang Pamungkas yang besar di Stadion Lebak Bulus, namun gagal. Jadi, tidak ada kelibatan suporter dan tim Persija di buku ini,” tutur Nugroho.
2. Kritik Terhadap Pemerintah DKI
Dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI telah menggusur dua stadion bersejarah di ibu kota. Pertama, Stadion Menteng pada 2006, dan Stadion Lebak Bulus, ikut-ikutan dirobohkan pada dua tahun yang lalu.
Apa-apa yang dituangkan Nugroho di dalam bukunya turut menyentil kebijakan Pemprov DKI yang menggusur dua stadion tersebut tanpa ada penggantinya. Persija, yang kini sulit untuk bermain di ibu kota, menjadi perhatian utama Nugroho selain penggusuran Stadion Lebak Bulus.
“Tujuan utamanya sebagai kritik terhadap pemerintah. Karena Jakarta hobi banget menggusur stadion. Dari mulai Ikada, Menteng, sampai Lebak Bulus. Sebagai kritik pribadi gue dan mungkin teman-teman suporter Persija juga yang tidak punya stadion sampai sekarang. Kecil atau besar, sampai ke telinga pemerintah,” kata Nugroho.
“Sedih lihat Persija tidak punya stadion. Bukan karena gue memposisikan sebagai suporter Persija. Karena di mana-mana, yang gue tahu klub ibu kota punya stadion sendiri, tim elit, berhamburan uang dan pemain bintang, tapi Persija cukup miris. Sangat tidak layak tim ibu kota tidak memiliki stadion,” tambahnya.
Nugroho mulai mengenal Persija pada 2004. Selang setahun kemudian, ia menjadi fanatik Macan Kemayoran.
“Suka Persija dari 2004, dan 2005 diajak kakak nonton di Stadion Lebak Bulus. Dari situ gue jatuh cinta, oh begini ya nonton sepakbola langsung di stadion. Tadinya gue hanya suka sepakbola luar negeri tuh, nonton di televisi waktu masih sekolah. Pas nonton Liga Indonesia, ini nih tim yang harus gue dukung. Karena ada ikatan emosional. Gue mengutip kata-kata dari Anthony Sutton, ekspatriat penulis buku Sepakbola - The Indonesian Way Of Life, "Tim sepakbola favorit itu bukan kita yang pilih, tapi dipilihkan oleh Tuhan,” ujar Nugroho.
“Pernah punya Kartu Tanda Anggota (KTA) the Jakmania waktu SMA dulu. Ikut Koordinator wilayah (Korwil) Pondok Gede,” tambahnya.
3. Kenapa dinamakan Sanggraha?
Nugroho menjelaskan pemilihan kata ‘Sanggraha’ sebagai penamaan bukunya. Sanggraha, kata Nugroho, identik dengan nama awal Stadion Lebak Bulus, yakni Sanggraha Pelita Jaya.
“Pertama kali gue nonton sepakbola, nama Stadion Lebak Bulus masih Sanggraha Pelita Jaya. Kemudian gue coba cek di kamus-kamus, sampai bahasa sansekerta, itu tidak ada. Adanya 'Pesanggrahan', yang artinya rumah singgah atau wisma yang dimiliki oleh pemerintah. Kira-kira begitu. Sebuah rumah untuk sebuah klub,” ujar Nugroho bercerita.
Pembuatan buku ini menjadi tantangan tersendiri bagi Nugroho. Apalagi saat proses pengambilan gambar dari bebeberapa titik yang sulit untuk dijangkau.
“Tantangan? Pertama, ada pas lagi motret, tidak diberi izin untuk ambil foto. Disuruh untuk mengurus surat terlebih dahulu. Gue akhirnya curi-curi kesempatan untuk ambil foto. Terus, ada foto dari atas, dari langit, itu gue mindik-mindik ambil foto dari Mall Poins Square. Gue naik 22 lantai tanpa seizin satpam, akhirnya motret bareng teman-teman dari rooftop,” ujarnya.
4. Kenangan bersama Stadion Lebak Bulus
Manis, pahit, telah dijalani Nugroho dengan ikhlas dalam proses pengambilan gambar Stadion Lebak Bulus ketika sedang dalam tahap perobohan. Bahkan, ia pernah mengalami kejadian mistis di stadion tersebut.
“Soal hantu, beberapa kali motret sendiri, tepatnya di Tribun VIP, pernah gue lewat seperti ada yang panggil, padahal di situ gak ada siapa-siapa,” kata Nugroho.
“Sama sempet menitikkan air mata kala eskavator menghancurkan tribun Stadion Lebak Bulus. Sedih juga sih,” lanjutnya.
Nugroho masih ingat betul ketika Persib Bandung tak mau menghadapi Persija di Stadion Lebak Bulus pada 2005 lalu. Hasilnya adalah Walk Out untuk kemenangan Macan Kemayoran. Momen yang selalu dikenang dan tak pernah dilupakan oleh Nugroho.
“Semuanya adalah kenangan indah, kecuali kekalahan. Paling gue ingat, pertama kali nonton sepakbola di stadion waktu Persija lawan Persib 2005 lalu. Ketika itu, Persib kalah WO dan menolak bertanding melawan Persija. Itu debut gue menonton sepakbola penuh banget, niatnya mau nonton sepakbola yang menghibur,” tutur Nugroho.
Nugroho sebenarnya sudah bosan dengan harapan. Namun, ia melihat adanya titik cerah pada pemimpin DKI yang akan datang. Harapannya, stadion baru untuk Persija. Tidak usah mewah dan megah, yang penting ada dan mudah untuk digunakan.
“Gue sudah bosan sebenarnya dengan harapan soal stadion baru. Dari jamannya Gubernur Sutiyoso hingga sekarang. Cuma, yang baru ini, boleh lah kita sama-sama berharap, untuk membangun stadion baru. Bisa di Taman BMW atau tempat lain, gak perlu sebesar SUGBK, setengah dari kapasitas SUGBK juga sudah cukup. 50 ribu penonton. Agar kita juga nyaman menonton sepakbola tidak perlu ke Bekasia atau Solo, Persija itu tim ibu kota,” pungkas Nugroho mengakhiri.