Ratu Tisha: Sekjen Cantik PSSI Jebolan FIFA Master
Federasi sepakbola Indonesia, PSSI baru saja mengumumkan Ratu Tisha Destria sebagai Sektretais Jenderal (Sekjen) baru menggantikan Ade Wellington yang mengundurkan diri beberapa waktu lalu. Menariknya, meskipun sebagai wanita, pengalaman Ratu Tisha di sepakbola tidak usah diragukan lagi.
Menurut PSSI, Ratu Tisha yang menjadi satu-satunya kandidat yang bisa melewati berbagai tes yang dilakukan. Ia sukses menyingkirkan 30 kandidat lain yang sebelumnya melamar untuk menjadi Sekjen PSSI.
"Sore ini sesuai statuta karena Ketua Umum (Edy Rahmayadi) kan mengusulkan nama, kemudian EXCO memutuskan tapi karena Ketum sudah membuat terobosan artinya sebelum bulan puasa yang lalu sudah diadakan fit and proper, kemudian sudah ada rangking-nya, peringkat satu hingga tiga (yang diberikan EXCO dalam penilaian saat fit and proper waktu itu)," ujar Iwan Budianto di Markas Komando Startegis Angkatan Darat (Makostrad), Jumat (07/07/17).
Baca Juga: |
---|
"Maka tadi menyepakati saudari Tisha sebagai Sekjen PSSI untuk masa kepengurusan sisa, yaitu hingga 2020. Tadi macam-macam dari yang dihadiri 10 anggota EXCO masing masing memiliki alasan tersendiri. Salah satunya mungkin karena dianggap sudah cakap ikut di dalam organisasi pengelolaan kompetisi pada musim lalu (TSC) kemudian beberapa hal masing-masing EXCO punya harapan masing-masing," tambah Iwan.
Executive Committee (EXCO) PSSI dikabarkan menggantungkan beberapa harapan bagi Tisha yang mengemban tugas barunya sebagai Sekjen PSSI hingga tiga tahun mendatang. Tak ada kekhawatiran dari PSSI meski Sekjen kali ini ditempati oleh seorang wanita.
Karenanya, INDOSPORT mencoba mengangkat profil Ratu Tisha di kursi Sekjen PSSI. Nayatanya gadis cantik kelahiran Jakarta, 30 Desember 1985 memiliki banyak kisah menarik yang mungkin saja jarang diketahui banyak orang.
1. Jebolan FIFA Masters Manajemen 2013
Tidak hanya cantik dari fisik, Ratu Tisha juga nyatanya memiliki gelar prestisius di bidang manajemen sepakbola. Ia merupakan jebolan program FIFA Master-International Master in Management, Law, and Humanities of Sports pada 2013 lalu.
Ratu Tisha Destria adalah salah seorang sekaligus satu-satunya perempuan Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari program tersebut. Ia menimba ilmu hampir setahun lebih di bagian manajemen olahraga di kawasan Eropa tepatnya di tiga negara yakni Inggris, Italia, dan Swiss.
“Jadi, selama empat bulan saya di London, empat bulan di Italia, dan menghabiskan waktu selama enam bulan untuk menulis tesisnya di Swiss. Saya terus mengejar apa yang saya cintai, dan saya bersungguh-sungguh mendalaminya sejak duduk di bangku SMA. Meski hanya pertandingan amatiran, saya tetap serius dan sungguh-sungguh menjalankannya,” ujar Tisha seperti dilansir dari laman swa.co.id.
Pengalaman Ratu Tisha di bagain manajemen udah terasah sejak masih bangku SMA dan saat kuliah di Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung. Selama kuliah, ia sering melakukan riset tentang statistik olahraga, terutama tentang sepakbola, dengan pendekatan matematika modeling.
“Karena jurusan saya di ITB waktu itu matematika dan saya juga cinta dengan dunia sepakbola, saya melakukan riset tersebut di ranah olahraga,” kata alumni SMA 8 Jakarta itu.
Sebagai informasi, FIFA Master merupakan program yang disponsori FIFA sebagai bagian dari mengembalikan 90 persen keuntungan FIFA untuk pengembangan sepakbola. Program tersebut dijalankan International Centre for Sports Studies (CIES). Dan untuk tahun 2013 lalu, hanya ada 28 orang dari sepuluh negara yang berhak mengikuti program itu.
Program tersebut merupakan impian Ratu Tisha sejak lama. Sebelumnya, pada 2011, dia pernah diterima untuk program Football MBA dari Liverpool. Namun, ia batal mengikuti program itu lantaran tidak ada bantuan pemerintah. Sedangkan untuk FIFA Master, dia turut berpartisipasi karena didukung beasiswa LPDP Kementerian Keuangan.
2. Owner Labbola (penyedia data statistik sepakbola nasional)
Setelah lulus kuliah pada 2008 lalu, Ratu Tisha dan temannya, Hardani Maulana, memulai usaha dengan mendirikan perusahaan jasa penyedia data analisis di bidang olahraga, khususnya sepakbola yang belakangan dikenal dengan Labbola.com.
Dari situlah, nama Ratu Tisha semakin dikenal di dunia olahraga khususnya sepakbola Tanah Air, hingga akhirnya ia mendapat kesempatan beasiswa kuliah S-2 FIFA Master yang spesifik mempelajari sport humanity dan sport management di tiga negara yakni Inggris, Italia, dan Swiss seperti dijelaskan sebelumnya.
"Dari Labbola ini saya bisa mendapatkan beasiswa ikut program FIFA Master setelah di tahun sebelumnya saya gagal,” ujarnya seperti dilansir dari Jawa Pos.
"Mungkin FIFA ingin melihat bekal saya di Labbola sebagai hasil yang pada tahun sebelumnya itu masih berupa mimpi. Saya satu-satunya orang statistik di antara 27 peserta lainnya," sambungnya.
Latar belakang Ratu Tisha sebenarnya jauh dari ingar bingar sepakbola. Namun, minatnya terhadap sepakbola sudah terbentuk sejak SMA.
Bersama Hardani Maulana, ia mulai membangun kecintaannya pada sepakbola. Dimulai menjadi manajer tim kecil-kecilan dan mengurusi kompetisi hingga pada 2004-2008, Tisha didapuk untuk mengurusi tim sepakbola mahasiswa ITB yang tergabung dalam kompetisi internal Persib Bandung. Mereka diserahi tugas tidak hanya mengurusi teknis, namun juga masuk urusan non teknis seperti mencari pemasukan keuangan.
3. 'Bingung' tentang Sepakbola
Sebelum ditunjuk menjadi Sekjen PSSI, Ratu Tisha sejatinya sudah kenyang pengalaman di sepakbola seperti dijelaskan sebelumnya. Bahkan pada turnamen Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016 lalu, ia ditunjuk sebagai Direktur Kompetisi dan Regulasi di PT Gelora Trisula Semesta (PT GTS).
Namun, ketika ditanya apa yang membuatnya suka terhadap sepakbola, wanita cantik itu tersenyum dan menggeleng pelan. Ia tidak bisa menjelaskan alasan dirinya jatuh cinta dengan olahraga si kulit bundar.
“Kita sering tidak bisa menjelaskan alasan mengapa kita bisa mencintai sesuatu, kan?" ujarnya seperti dikutip dari Tempo.
Ketika masih di bangku SMA, Ratu Tisha pernah mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar antar-budaya AFS di Leipzig, Jerman. Berada setahun di kota kecil itu membuat Tisha menemukan bagaimana nilai-nilai yang erat dalam kompetisi olahraga menjadi roh bagi masyarakat.
"Dalam kehidupan sehari-hari, terasa sekali bagaimana masyarakat di sana mengusung fairness, menghargai kemenangan, menerima kekalahan, dan bangkit dari jatuh. Itu ada dalam keseharian mereka," ujarnya.
Menurutnya hal seperti itu masih belum bisa hadir dan jarang ditemui dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sampai saat ini, Tisha melihat olahraga di Indonesia baru sebatas tren, atau sebuah aktivitas yang dinilai dari manfaatnya terhadap kebugaran dan kesehatan.
"Itu tidak salah, itu baik. Tapi alangkah lebih baik jika suatu saat nanti kita bisa menerapkan nilai-nilainya dalam keseharian," tutupnya.