Milovanovic dan Gangguan Mental yang Intai Pesepakbola
Kasus unik terjadi pada Dane Milovanovic beberapa waktu terakhir. Gelandang Madura United ini divonis mengalami masalah psikologis oleh pihak medis.
Dalam situs resminya, Laskar Sapeh Kerrab, julukan MU, menyatakan bahwa sang pemain saat ini tengah berada di kampung halamannya untuk menjalani masa penyembuhan. Bahkan, Dane sempat melakukan percobaan bunuh diri.
"Nama pasien di atas hadir di Klinik Harvaster dan diperiksa oleh Dokter Catriona Kneeland. Pemeriksaan terkait dengan kesehatan mentalnya," tulis MU pada situs ofisial klub.
Hal ini tentu saja cukup mengejutkan sejumlah kalangan. Apalagi sebelumnya, Milovanovic tampil cukup impresif bersama MU.
Gangguan Mental Intai Pesepakbola
Kejadian yang menimpa Milovanovic bukan hal baru dalam sepakbola dunia. Sebelumnya, sejumlah pemain dikabarkan pernah mengalami masalah pada mental mereka.
Terakhir Aaron Lennon menjadi salah satu pemain yang juga menjadi korban dari masalah mental ini. Pemain Everton ini sempat menjadi perbincangan karena dirujuk ke rumah sakit jiwa.
Lennon diketahui sempat diamankan petugas kepolisian karena terlibat dalam sebuah keributan. Padahal, winger lincah Inggris tersebut merupakan salah satu talenta mumpuni di Liga Primer Inggris.
Selain Lennon, publik Inggris sempat juga dikejutkan dengan pengakuan dari Paul Gascoigne dan Tony Adams. Keduanya mengaku sempat mengalami masalah pada psikologi mereka dan harus menjalani sejumlah rehabilitasi.
Kasus gangguan mental memang menjadi salah satu ancaman serius bagi para pemain sepakbola. FIFPro, asosiasi pesepakbola profesional, sempat melakukan studi terkait permasalahan mental yang dialami para pesepakbola. Penelitian ini sendiri melibatkan para pemain dan mantan pemain di 11 negara dari tiga benua.
Hasil penelitian cukup membuat gemetar. Hampir 30 persen dari 826 pemain dan mantan pemain sepakbola yang menjadi subjek penelitian mengalami gangguan mental.
"Gejala yang berhubungan dengan depresi dan kecemasan sangat umum di kalangan pemain sepak bola profesional," kata Vincent Gouttebarge, Direktur Medis FIFPro, tentang temuannya seperti dilansir Reuters, Kamis (03/04/14).
Temuan dasar yang didapatkan tim peneliti FIFPro sendiri menyatakan bahwa pemain yang bermasalah dengan mentalnya mengalami sejumlah gejala.
Gejala itu antara lain kesulitan tidur (23 persen pemain dan 28 persen mantan pemain), stres (15 persen pemain dan 18 persen mantan pemain), hingga kecanduan minuman beralkohol (9 persen pemain dan 25 persen mantan pemain).
Sejumlah Kasus Berakhir Tragis
Bahkan gangguan mental pada pesepakbola sempat berujung tragis. Kita tentu masih mengingat bagaimana kasus pada dua pesepakbola kawakan yang tewas bunuh diri.
Pertama, Robert Enke, kiper asal Jerman yang mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan diri pada kereta api di tahun 2009. Enke diketahui melakukan hal tersebut karena merasa depresi usai kematian putrinya 3 tahun sebelum kejadian.
Setelah itu, Gary Speed juga melakukan hal serupa pada tahun 2011 silam. Speed ditemukan tewas tergantung di kediamannya.
BBC Indonesia pun sempat memuat sebuah artikel pada tahun 2011 tentang pengakuan Peter Kay, kepala sebuah klinik mental di Inggris. Kay mengaku mendapat telepon dari setidaknya 10 pemain yang meminta bantuannya sejak kematian Gary Speed.
"Sepuluh pemain telah menghubungi saya untuk mencari pertolongan sejak berita (kematian Gary Speed) menyebar,'' kata Peter Kay.
Kasus bunuh diri terakhir yang dilakukan oleh pemain sepakbola terjadi pada bulan April 2017 lalu. Frantisek Rajtoral, mantan bek Timnas Ceko ditemukan tewas bunuh diri di apartemennya di Turki.
Saat itu, Rajtoral masih tercatat sebagai penggawa Gazaiantepspor, klub asal turki. Pemain berusia 31 tahun ini diketahui mengakhiri hidupnya karena masalah pribadi yang membelitnya.
Untuk kasus bunuh diri sendiri, FIFPro juga melansir bahwa 10 persen jumlah kematian yang dialami pesepakbola dan mantan pesepakbola dilakukan dengan bunuh diri. Meski demikian Gouttebarge juga menyebut bahwa untuk motif bunuh diri yang dilakukan cukup sulit dibuktikan.
“Setiap tahun kami memantau angka kematian ini. Rata-rata tak mudah menemukan alasan aksi nekat mereka,” ujar Gouttebarge, dilansir dari The Guardian (24/04/17).
Kecenderungan ini tentu saja menjadi problem serius yang dihadapi oleh para pesepakbola modern. Apalagi di tengah ketatnya persaingan dan kompetisi serta kehidupan mereka di dalam dan di luar lapangan.
FIFA Siapkan Penanggulangan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2010 melansir sebuah data bahwa ada 450 juta orang di seluruh dunia mengalami masalah mental. Dalam hasil risetnya, WHO juga menyebut bahwa 1 dari 4 orang di seluruh dunia berpotensi mengalami satu atau lebih masa di mana mengalami penurunan mental selama hidupnya.
Prof. Dr. Astrid Junge, Kepala Riset Pusat Medis FIFA, juga mengatakan bahwa hal tersebut berlaku untuk para pesepakbola. Kondisi tekanan mental yang tinggi pun menjadi salah satu alasan para pesepakbola profesional lebih rentan mengalami problem mental.
"Tidak ada bukti bahwa pemain sepakbola berbeda (mengalami resiko gangguan mental). Stres adalah sebuah faktor penyebab utama terjadinya gangguan mental, dan gangguan ini menunjukkan bahwa faktor psikologi berpengaruh dengan terjadinya cedera dan waktu pemulihan yang panjang," ujarnya seperti dikutip dari SBNation.
Atas dasar inilah, FIFA akhirnya turun tangan dalam pencegahan gangguan mental bagi para pesepakbola. Dalam sebuah rilisnya di tahun 2014, FIFA secara resmi meluncurkan sebuah proyek untuk menanggulangi permasalahan ini.
FIFA menunjuk Birgit Prinz, mantan pemain sepakbola wanita Jerman, untuk memimpin proyek ini. Prinz sendiri merupakan seorang sarjana psikologi yang dianggap memiliki kecakapan dalam urusan ini.
Apalagi sebagai salah seorang mantan pemain, Prinz mengaku memiliki sejumlah pengalaman terkait hal tersebut. Peraih 3 kali penghargaan pemain terbaik FIFA ini pun mengatakan bahwa faktor mental merupakan hal yang sama pentingnya seperti kesehatan fisik.
“Kondisi mental merupakan hal yang penting dalam performa seorang pemain sepakbola saat di lapangan maupun di luar lapangan. Sama pentingnya dengan kondisi fisik dan teknik mereka. Hanya saja kini tidak banyak latihan spesifik yang serius untuk meningkatkan kondisi mental para pemain. Kebanyakan tim selalu berasumsi bahwa pemain mereka memiliki kondisi mental yang baik. Dari hasil pengalamanku, penting untuk mengetahui kondisi mental para pemain,” kata Prinz seperti dikutip dari laman resmi FIFA.
Proyek ini sendiri akan berlangsung dalam 3 tahapan berbeda. Pertama, FIFA akan melakukan riset terkait kondisi kehidupan pemain sebelum, saat bermain, dan sesudah pensiun sebagai pesepakbola.
Langkah selanjutnya, FIFA akan melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan permasalahan mental ini. Terakhir, FIFA akan melakukan riset terhadap efek dari kegiatan dan kondisi mental para pemain.
Baca Juga: |
---|
FIFA, untuk semua penyakit tersebut, diharapkan mengambil kesempatan untuk menyelamatkan nyawa, tidak hanya dari kematian, tapi juga dari isolasi, dan patah hati yang mendalam yang dapat memperburuk penderita gangguan mental dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Stigma adalah salah satu hambatan utama dalam kemajuan pemulihan kesehatan mental. Hal ini merupakan bagian yang terpenting untuk dilakukan.
Terkait hal ini, dalam sepakbola khususnya, para pemilik klub, manajemen, pelatih, dan para penggemar harus juga diberi pemahaman. Bahwa semua memiliki peran, baik di dalam maupun di luar lapangan.
Hanya kesadaran dan kerja sama penuh dari semua pihak dapat mencegah kerusakan mental lebih parah. Apalagi industri sepakbola modern mulai memasuki peradaban yang semakin 'kejam' dibanding sebelumnya.