Mundur, Djanur Bukan Sekadar Legenda di Persib Bandung
Emosi para Bobotoh pun tak tertahan di menit ke-83, saat gol Ilham Udin bersarang di gawang M. Natshir. Ini adalah gol kedua ke gawang Persib Bandung saat melawan Bhayangkara FC, Minggu (04/06/17).
Sebelumnya, Paulo Sergio terlebih dulu membuat gol untuk Bhayangkara FC di menit ke-27, pada laga yang digelar di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi. Namun, bukan ini pangkal permasalahannya.
Pendukung setia Maung Bandung, sudah menyimpan getir atas prestasi klub kesayangannya di Gojek Traveloka Liga 1. Tertinggal dua gol dengan sisa waktu 7 menit tersisa, berarti menambah dahaga kemenangan bagi asuhan Djajang Nurdjaman.
Sebelumnya, Persib sudah gagal memetik kemenangan sejak pekan keenam Liga 1. Imbang melawan Semen Padang, meraih hasil seri lagi saat menjamu Borneo FC, dan terakhir harus kalah saat melawat ke markas Bali United.
Sempat ditolak mundur oleh manajemen Persib, Djanur kemudian melanjutkan baktinya bersama Persib Bandung. Namun sekali lagi, keburuntungan tak berpihak padanya.
Performa Persib kembali menurun dan memaksa Maung Bandung mengakhiri pekan ke-15 di posisi ke-12 klasemen sementara. Bahkan Djanur harus puas dengan 2 kemenangan dari 6 laga usai comeback bersama Persib.
Inilah yang sedikit menggoyahkan para Bobotoh yang mengaku menjadikan Persib sebagai bagian dari hidupnya. Tak ayal sebagian pendukung pun meminta manajemen melakukan evaluasi terhadap kinerja skuat.
Sebagai orang yang dipercaya untuk meracik strategi, seluruh mata langsung tertuju pada sosok berkumis tipis dan bertubuh ceking. Djanur dianggap sebagai biang keladi utama gagal moncernya Persib di awal musim ini.
Meski jika kita tarik garis ingatan ke masa 34 tahun silam, tentu tak menyenangkan memperlakukan seorang Djajang sedemekian rawan. Djanur, merupakan satu hasil reproduksi Persib di masa jayanya.
Sebagai pemain, pria berusia 59 tahun ini mewakili generasi emas di zamannya. Djanur berhasil menjadi bagian dari skuat juara Persib di Piala Perserikatan pada era 1990-an.
Djanur juga menjadi salah satu pelatih yang sukses menjadi juara bersama klub yang juga diantarnya sebagai juara. Status legenda pun akhirnya disematkan pada pria kelahiran Sumedang ini, sebelum akhirnya angin membawanya ke titik nadir pada hari ini.
Lalu bagaimana dengan sejumlah fakta magis nan legendaris Djanur bersama Persib? Berikut ulasan dari INDOSPORT:
1. Pemecah Kebuntuan Prestasi
Ribuan pendukung Persib Bandung yang hadir di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang, mendadak bersorak histeris. Eksekusi Achmad Jufriyanto menjadi penentu gelar Liga Super Indonesia pada tahun 2014 silam.
Persib memastikan diri menjadi juara usai membenamkan Persipura Jayapura di final lewat drama adu penalti. Sebelumnya, kedua kesebelasan bermain imbang 2-2 hingga akhir 90 menit dan babak perpanjangan waktu.
Gelar ini merupakan pelepas dahaga Persib Bandung yang terakhir kali menjadi juara pada tahun 1995. Persib harus menunggu 19 tahun untuk bisa kembali menjadi salah satu tim yang disegani di Tanah Air.
Djanur menjadi salah satu sosok yang berperan penting dalam hajatan ini. Bagaimana tidak, sejak bergabung dengan Maung Bandung pada tahun 2013 sebagai pelatih, Djanur sukses menjadikan Persib sebagai skuat yang seimbang.
Djanur mampu mengombinasikan pemain senior seperti Firman Utina, Supardi, M. Ridwan, dan Tantan. Mereka padu dengan pemain asing yang diisi Makan Konate dan Vladimir Vujovic, serta dua energi muda dari Achmad Jufriyanto dan Ferdinand Sinaga.
Memori ini juga merujuk pada kemampuan Djanur kala masih menjadi pemain. Final Piala Perserikatan 1986 adalah klimaks prestasinya.
Djanur dikenal sebagai pahlawan Persib lebih dulu pada masa itu. Sumbangan golnya di menit ke-77 saat melawan Perseman Manokwari menjadi penuntas dahaga Persib yang terakhir kali juara di tahun 1961.
De Javu ini menjadikan Djanur kemudian menjadi salah satu sosok yang disegani. Sebagai legenda, sebagai pahlawan, dan pemecah kebuntuan prestasi Sang Maung Bandung.
2. Bakti Nyata untuk Persib Bandung
Djanur mengawali kiprahnya di dunia sepakbola pada usia 15 tahun. Saat itu, Djanur bergabung dengan klub internal Persib.
Barulah pada tahun 1978, Djanur mendapatkan kesempatan untuk naik ke tim utama. Bersama tim utama ini, Djanur kemudian mendapat pengalaman dengan bermain bersama sejumlah nama besar sekelas Herry Kiswanto, Encas Tonif, dan Max Timisela.
Bertubuh kecil, Djanur yang bermain sebagai gelandang serang, acap kali merepotkan barisan pertahanan lawannya di sisi kanan. Namun sayang, Persib harus turun kasta ke Divisi 1 pada akhir musim 1978.
Djanur kemudian melanjutkan kariernya dengan membela Sari Bumi Bandung Raya, yang bermain di kompetisi Galatama. Klub ini kemudian berganti kandang dari Bandung ke Yogyakarta, dan berubah nama menjadi Sari Bumi Raya Yogyakarta.
Pada tahun 1983, Djanur kemudian kembali hijrah ke Mercu Buana Medan. Klub terakhir ini dibelanya hingga tahun 1985.
Setelah 6 tahun melanglang buana, Djanur memutuskan untuk kembali 'membiru'. Pria yang lahir di Majalengka ini kemudian bergabung dengan Persib yang saat itu dilatih oleh Nandar Iskandar.
"Awalnya dari Piala Soeratin usia 17 tahun, saya perlahan menjadi pemain Persib. Hingga, saya sempat hijrah membela Mercu Buana di kompetisi Galatama pada tahun 1980-1985. Kemudian, membela Persib kembali," ujar Djanur.
Bersama Persib, nama Djanur mulai kembali mencuat di panggung sepakbola nasional. Djanur menjadi penyelamat Persib Bandung dengan gol semata wayangnya di final Piala Perserikatan tahun 1986.
Persib pun berhasil menundukkan Perseman Manokwari pada laga yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno tersebut. Djanur pula yang membawa Persib kembali menjadi juara pada Piala Perserikatan 1990 saat menundukkan Persebaya Surabaya di partai final.
Usai pensiun sebagai pemain, Djanur pun semakin menguat sebagai salah satu ikon Persib. Hal inilah yang membuat Indra Tohir mempercayakannya sebagai salah satu asisten kala dirinya menjadi pelatih Persib.
3. Biru dalam Darah
Usai berjaya mengantarkan Persib menjadi juara, Djanur kemudian memutuskan pensiun. Namun, bakti Djanur untuk Persib tak lantas dilepas begitu saja.
Dirinya langsung dipercaya menjadi asisten Indra Thohir. Inilah yang menjadi titik balik bagi kariernya di kemudian hari.
Thohir yang sadar betul dengan kecerdasan Djanur tidak salah. Persib kemudian kembali disegani di pentas sepakbola nasional pada Piala Perserikatan 1994.
Maung Bandung kembali menjadi juara dalam ajang terakhir dalam format kompetisi perserikatan. Saat itu, Persib sukses mengalahkan PSM Makassar di final.
Setahun kemudian, format kompetisi berkonsep unifikasi antara Galatama dan Piala Perserikatan digelar dengan tajuk Liga Indonesia. Djanur yang masih dipercaya mengasisteni Indra Tohir kembali membawa Persib Bandung kembali merengkuh gelar juara.
"Saya langsung jadi ditunjuk sebagai asisten Indra Thohir di musim terakhir Perserikatan. Bersyukur, saya bisa ikiut andil membawa Persib juara. Selanjutnya di Liga Indonesia I tahun 1995, Persib kembali juara," kata Djanur.
Djanur kemudian ditunjuk untuk membina skuat muda Persib Bandung. Dirinya dipercaya untuk menangangi tim muda Persib Bandung pada tahun 1997.
"Saya mulai meniti karier menjadi pelatih kepala di kelompok umur mulai dari U-15, U-16, U-17, sampai U-23 Persib," ujar Djanur," kenang Djanur.
Persib pun kembali memanggil namanya untuk menjadi asisten pelatih di tahun 2007. Kala itu, Djanur menjadi pendamping Arcan Iurie, pelatih asal Moldova.
Namun kesempatan ini tak segemilang saat dirinya menjadi asisten Indra Tohir. Persib hanya berada di peringkat kelima klasemen akhir saat itu.
Djanur kemudian berbelok ke Pelita Jaya, untuk menjadi asisten Fandi Ahmad pada tahun 2008. Bahkan pada musim terkahirnya, Djanur diangkat sebagai pelatih kepala dengan capaian cukup memuaskan.
Si Kumis Tipis mampu menyelamatkan Pelita Jaya dari jurang degradasi di musi tersebut. Kecemerlangan Djanur kemudian memaksanya untuk kembali pulang kandang.
Umuh Muchtar kemudian meminta Djanur memimpin tim utama Persib. Bagi Djanur inilah cita-cita tertinggi dalam karier kepelatihannya.
Semua upaya dan pengalaman berusaha dikumpulkannya untuk Persib sebagai muara. Kini, setelah 5 tahun jatuh bangun bersama Persib, purna sudah tugas Djanur (untuk saat ini).
Usai laga melawan Mitra Kukar, Djanur kembali meminta mundur karena dirinya mengaku kalah. Hal yang tak bisa ditolak untuk kali kedua oleh manajemen Persib.
"Saya buat keputusan untuk istriahat dulu. Artinya saya resign dan mundur dari kursi pelatih Persib. Keputusan saya sudah bulat dan saya sudah katakan pada manajer tadi dan manajamen lainnya. Insya Allah kali ini bisa memenuhi keinginan saya. Karena saya tidak bisa mengangkat performa tim yang terus tertekan selama ini," ujar Djanur seusai laga melawan Mitra Kukar, Sabtu (15/07/17).
Namun, perjalanan karier Djanur memang meninggalkan jejak berwarna biru. Sebuah kebanggaan dan harga diri yang pantas kiranya membuat Djanur disebut sebagai legenda bersama Maung Bandung.
Hatur Nuhun, Coach Djanur!