Melihat Cara Mereka Menyembuhkan Rohingya Lewat Sepakbola
Bagi seorang Ismail, generasi kedua dari pengungsi Rohingya, bermain sepak bola adalah obat manjur untuk membunuh kesedihannya atas kekerasan yang menerpa etnisnya tersebut.
Pemuda berusia 24 tahun itu lahir di Cox's Bazar, daerah di ujung selatan Bangladesh. Sebuah kamp bobrok yang mesti ia tempati setelah orangtuanya melarikan diri dari masyarakat Myanmar.
"Ketika saya bermain bola, semua kesedihan dan marah ini pergi menjauh begitu saja," katanya sambil tersenyum. Namun Ismail mengakui, luka itu hanya pergi sesaat lalu kembali.
Ismail bersama kawan-kawannya bersukacita dalam permainan sepakbola di sebuah dataran tinggi sambil sesekali menikmati pemandangan luas dari kamp dengan gubuk yang dikotori lumpur dan dihiasi dengan selokan terbuka.
Mereka di sana menjulukinya dengan kamp pengungsian Kutupalong. Sambil pergi melupa pada rasa sakit atas kekerasan yang dihadapi oleh sebagian besar keluarga mereka, Ismail bermain diantara desingan bunyi klakson dari jalan raya yang tak jauh dari sana.
Kehadiran sepak bola ditengah mereka diharapkan mampu membantu para pemain dan penonton agar terhibur meski hanya beberapa jam saja.
Pria itu bernama Mohammed Farouque. Salah seorang pengungsi yang tergerak untuk mendirikan klub sepakbola Rohinggya di Malaysia. Negeri jiran itu menjadi salah satu destinasi bagi para pencari suaka etnis Rohingya.
Farouque mengatakan bahwa pemuda etnis Rohingya dilarang untuk bermain sepakbola di Myanmar. Membuat sebuah kompetisi menjadi hal yang mustahil bagi mereka yang berasal dari etnis tersebut.
Di Malaysia dan Bangladesh, kebanyakan masyarakat Rohingya tak memiliki kewarganegaraan. Namun bukan berarti mereka tak mampu bergabung dalam kompetisi sepakbola.
"Sepakbola menjadi salah satu dari sejumlah kebebasan yang pantas mereka dapatkan," ujar Farouque.
Di Bangladesh, terdapat 16 tim, dengan delapan tim tak resmi, dan delapan tim resmi. Mereka berkesempatan untuk terlibat dalam laga bergaya Piala Dunia.
"Tim Ismail mengalahkan kami beberapa waktu lalu karena mereka telah memiliki sepatu, sedangkan kami tidak," ujar Ziabur Rohaman yang melarikan diri dari Myanmar bersama istri dan tiga orang anaknya. "Mereka mendapatkan sepatu itu dari UNHCR, dan sebagian besar anggota tim kami tak pakai sepatu."
Ismail sendiri dengan bangga mengenang kemenangan yang pernah diraihnya ketika tim Kutupalong berhasil mengalahkan Nayapara dengan skor 3-0. Nayapara merupakan kamp pengungsian yang jaraknya 50 mil dari Kutupalong.
Pemuda itu berhasil menyarangkan satu gol dalam laga tersebut. "Tim saya memilih saya sebagai orang yang pantas dalam tim ini," ujar Ismail bangga sambil dikelilingi oleh remaja yang tengan terkagum-kagum padanya.
Berdasarkan laporan the New York Times, kebanyakan orang yang tinggal di kamp telah menjadi bagian dari tragedi tersebut. Ismail menjadi salah satu yang harus merasakan hal menyedihkan itu.
Pamannya terbunuh oleh tentara Myanmar, hingga tragedi tersebut yang memaksa bibinya beserta beberapa sepupunya harus bergabung bersama Ismail di Bangladesh.