Piala Dunia dan Religiusitas Sepakbola
Tak sampai satu tahun lagi, miliaran pasang mata sejenak berpadu pandangan ke lapangan sepak bola di Negeri Rusia, yang barangkali selama ini tidak pernah sekalipun mereka tengok, bahkan ketika melihat peta dunia. Hanya dalam hitungan bulan, ratusan pemilik kaki-kaki "ajaib" akan beradu kemampuan di medan hijau.
Sejenak pula, miliaran manusia di bumi ini akan melupakan kesulitan hidup mereka. Para pengamat ekonomi akan menghilangkan sementara perhitungan rumit ancaman resesi dunia dan kemiskinan akut di negaranya. Para politikus akan reses dari sidang-sidang "formalitas" mereka.
Para pialang saham akan menghitung ulang peruntungan mereka akan saham klub-klub sepak bola dan perusahaan pemiliknya. Sementara waktu pula, New York Stock Exchange akan kalah populer dibanding pusat rumah taruhan William Hill.
Inilah pesta empat tahunan para penikmat seni olah kaki dunia. Inilah saat di mana para pemain dan pelatih bahkan wasit, merasa seperti "naik haji", ketika terlibat langsung dalam perhelatan akbar itu. Inilah saat di mana nasionalisme sebuah negara terasa begitu hangat di setiap sanubari anak negeri.
Inilah saat di mana - bahkan - negara yang tidak ikut partisipasi sekalipun tersihir untuk turut serta mendukung kontestan yang hadir di sana. Di pentas itu, berbagai ekspresi emosional akan tersaji. Marah, sedih, gembira, kecewa, tak habis pikir, diam, semangat, solidaritas, bahkan ekspresi religiusitas.
Dalam sejarah perjalanannya, memang sepakbola telah menjelma sebagai sebuah "ritual" sosiokultural baru untuk menunjukkan jati diri, semangat perlawanan, dan bahkan aroma dendam.
Lihatlah bagaimana cara Argentina membalas kekalahan mereka di perang Malvinas dari Inggris dengan menghajar mereka di Piala Dunia Mexico dengan cara yang sangat menyakitkan: Gol "tangan Tuhan" dari Maradona dan ketika orang yang sama, sendirian mengecoh beberapa pemain belakang negeri Ratu Elizabeth itu untuk kemudian menjerumuskan Inggris ke jurang kekalahan.
Atau lihatlah bagaimana perlawanan orang Catalan yang mempunyai sejarah kebangsaan, bahasa, dan tradisi yang berbeda dari Spanyol "menitipkan" pesan perlawanannya – bahkan sampai detik ini - kepada klub Barcelona, ketika mereka bertanding melawan Real Madrid yang dianggap representasi Kerajaan Spanyol.
Maka lihatlah, betapa pemain Barcelona seperti punya berlipat-lipat kekuatan ketika berhadapan dengan Real Madrid, karena bagi mereka ini bukanlah sekedar permainan, ini adalah perlawanan!
Itulah uniknya sepakbola. Permainan kolektif 22 orang di sebuah lapangan hijau dengan satu tujuan. Melesakkan bola melewati garis gawang lawan. Dari syarat "sederhana" itulah terlahir puluhan strategi permainan sepakbola.
Dari Total Football ala Belanda, sampai Catenaccio ala Italia. Urusan mencetak gol memang bukanlah pekerjaan mudah. Tidak sebagaimana basket misalnya, dimana poin demi poin bisa diperoleh dengan "mudah".
Poin di sepakbola harus dipertaruhkan selama 2x45 menit atau bahkan lebih. Stamina dan energi harus terjaga optimal selama panjangnya waktu pertandingan itu. Maka tak heran, ketika akhirnya gol itu tercipta, luapan kegembiraan membuncah pecah di setiap diri pemain.
Mencetak gol terasa seperti menemukan tambang emas atau minyak setelah melakukan eksplorasi berbulan-bulan. Apalagi kalau gol yang tecipta itu adalah gol krusial.
Maka kita bisa melihat ekspresi kegembiraan itu berbagai macam bentuknya. Dari sekedar berteriak sambil mengacungkan kepalan ke udara, sujud syukur, atau menjatuhkan diri ke lapangan rumput sambil jungkir balik. Tapi yang sering tampak adalah justru ekspresi religiusitas.
Dalam berbagai keyakinan agama yang dianut, para pemain sepakbola itu merasa harus berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepadanya untuk bisa mencetak gol. Paling jamak kita saksikan, adalah gerakan tangan seorang pemain yang mengacungkan kedua telunjuknya ke atas.
Menurut Dan Brown dalam sebuah novel-nya yang terbaru, "The Lost Symbol", gerakan itu menunjukkan sebagaimana yang di atas demikian pula yang di bawah. Artinya, bahwa si pemain tersebut, sebagai wakil Tuhan di muka bumi, baru saja melakukan salah satu "pekerjaan" Tuhan, yaitu mencetak gol.
Sebenarnya ini memang bukan ritual agama tertentu. Cuma semacam keyakinan okultisme kuno yang entah disadari atau tidak banyak dipraktekan oleh para pemain sepakbola. Karena dulu setiap kali orang merayakan sebuah kemenangan dalam bentuk apapun, biasanya akan melakukan gerakan yang sama.
Para pemain bola itu sangat faham. Bahwa gol yang hendak mereka ciptakan tidaklah melulu dihasilkan dari rancangan strategi yang matang, kemampuan individu yang mumpuni, dan fisik yang tangguh. Tapi juga membutuhkan "sentuhan" keberuntungan.
Posisi tendang yang tepat, waktu yang pas, serta kelengahan lawan. Betapa banyak tendangan yang terukur justru hanya mengenai tiang gawang, atau bola yang melengkung, bahkan ketika hanya berhadapan dengan penjaga gawang ketika terjadi tendangan penalti-pun, terkadang gagal karena naungan keberuntungan itu tidak ada.
Untuk unsur yang terakhir ini, tidak seorang pelatih pun di dunia ini yang bisa memperkirakan dan melatih untuk menghadirkannya. Maka itulah, naungan keberuntungan adalah salah satu dari sekian harapan yang diinginkan. Jelas, bagi orang yang beragama, tentu tidak ada keberuntungan itu kecuali memang demikianlah apa yang sudah Tuhan kehendaki.
Begitu pentingnya makna "menghadirkan" Tuhan ini, sehingga banyak para pemain memulai pertandingan dengan berbagai ritual. Dari mulai berdoa, mencium rumput lapangan, memegang dan mencium bola, menendang ringan kedua tiang gawang bagi seorang penjaga gawang, beberapa pelatih dunia bahkan membawa pernak-pernik mistis, air suci, sampai jimat-jimat aneh yang diharapkan mampu menghadirkan keberuntungan itu.
Religiusitas, barangkali itu yang lebih tepat untuk menyatakan semua ritual itu. Sebuah kesadaran akan adanya kekuatan pengatur yang tidak terjamah oleh dunia science tapi mampu menghadirkan kesuksesan bagi mereka.
Para scientist menyebut kekuatan itu sebagai "Zat Maha Cerdas", dan para agamawan menyebutnya sebagai Tuhan. Dan dengan segala keterbatasannya, manusia merasa sangat perlu untuk selalu didampingi oleh Tuhan di setiap kesempatan dan waktu.
Dalam Agama Islam misalnya, seorang Muslim sangat dianjurkan untuk mengucapkan "Bismillah" sebelum memulai setiap pekerjaan. Ini adalah sebuah ajaran dan ajakan untuk menghadirkan Allah dalam setiap pekerjaan kita.
Setidaknya ada dua kesadaran penting yang hadir, jikalau seorang muslim membaca kalimat tersebut. Yang pertama adalah sebuah kesadaran akan kelemahan dirinya sebagai manusia, sehingga memerlukan campur tangan Allah dalam perkerjaannya itu.
Sedangkan yang kedua adalah sebuah kesadaran akan sikap optimisme, yaitu bahwa ada Allah yang akan ada dan membantu kita di setiap langkah. Sehingga kesulitan apapun yang menghadang, akan dihadapi dengan segenap semangat dan optimisme.
Maka setelah tuntas pekerjaan itu, umat muslim pun dianjurkan untuk mengucapkan "Alhamdulillah".
Memaknai-sekali lagi- bahwa segala hasil yang kita peroleh pada hari itu adalah juga berkat campur tangan Allah dengan segala ke-Maha Kesempurnaan-Nya.
Kalau toh hasil yang diperoleh pada hari itu belum sebagaimana yang kita inginkan, maka keyakinan awal tadi lah yang menuntun hati kita untuk kemudian mengakui, bahwa bagi Allah barang kali itulah yang terbaik untuk kita. Sekali lagi, karena kita telah memulai langkah kita dengan memohon bantuan Allah.
Kesalehan spiritual semacam inilah yang tersirat di setiap mimik dan gerakan para pemain sepakbola. Ketika hendak masuk lapangan, ketika gagal mengarahkan bola ke gawang, ketika justru kebobolan dari tim lawan, ketika meratapi kekalahan, dan tentu saja ketika akhirnya menang dan mencetak gol.
Sebuah ritual yang amat sangat bagus, seandainya kemudian berlanjut dengan dengan panghayatan yang benar akan segala ritual itu. Bahwa ketika kemudian kemenangan itu datang, maka bukan lagi kesombongan yang hadir, tapi kesyukuran.
Dan kalau toh seandainya kekalahan yang harus diterima, maka bukan kemarahan yang tersulut, tapi introspeksi dan kelapangan. Karena sekali lagi, para pemain sepakbola itu telah "melibatkan" Tuhan pada pertandingan ini. Dan tentu saja meyakini, bahwa hanya Dia-lah yang memiliki keputusan terbaik.
Laksana panggung sepakbola. Demikianlah peta persaingan bisnis dalam setiap detail kehidupan ini. Semua hendak menjadi pemenang, semua berebut menjadi yang terbaik. Wajar, karena usaha yang maksimal adalah juga ajaran Tuhan.
Tapi cobalah kita pindahkan sejenak persaingan bisnis itu menjadi sebuah kompetisi sepakbola. Di mana kita adalah pemain dan mungkin pelatih bagi sebuah tim. Merancang strategi dengan baik. Memberikan pelatihan yang kontinyu. Dan tentu saja, berdoa setiap kali hendak memasuki lapangan.
Sekali lagi tentu dengan dua semangat rohani sebagaimana yang disebut diatas. Yaitu bahwa kita bekerja dan berjuangan dengan izin Allah, dan lalu memohon untuk dibantu Allah. Sebab, Dia-lah yang maha mengatur segala "keberuntungan". Yang mana saya, Anda, dan para pemain sepakbola berebut untuk mendapatkanya.
Penulis: Rachmatulloh Oky Raharjo SH.I
Pengamat Sepakbola dan Pengajar Pondok Pesantren Azamania, Ponorogo, Jawa Timur