Kisah Diego Costa dari Jalanan Hingga Menaklukkan Eropa
Diego Costa akhirnya kembali menjadi pemain Atletico Madrid usai dibeli dari Chelsea. Sebelum menjadi penyerang mematikan seperti sekarang, jalan terjal harus ia rasakan hingga kini bisa menaklukkan Eropa.
Kepindahan Costa sendiri berawal dari konflik internal yang terjadi antara Conte dan Costa ketika keduanya berdebat saat sesi latihan, bahkan Costa sempat dibekukan dari tim dan marah ketika Conte menyatakan bahwa Chelsea tidak membutuhkan dirinya.
Konflik antara Diego Costa dan manajer Chelsea, Antonio Conte akhirnya berakhir dengan baik untuk kedua pihak. Pemain Spanyol tersebut resmi meninggalkan The Blues untuk pergi klub asalnya, Atletico Madrid. Costa menuntaskan transfer bernilai 58 juta pounds atau setara dengan 1 triliun rupiah menjelang laga ‘malam jumat’ antara Atletico Madrid kontra Chelsea.
Walaupun sudah resmi menjadi pemain Atletico, pemain kelahiran Brasil berkebangsaan Spanyol itu baru akan didaftarkan pada jendela transfer Januari 2018 mendatang sebagai pemain Atletico dan untuk menunggu waktu tersebut, Costa hanya akan mengikuti sesi latihan klub.
Ya, Costa bukanlah pemain kelahiran Spanyol, dan jalan panjangnya menjadi pesepakbola seperti sekarang tidak semulus anggapan orang pada umumnya. Berikut ini INDOSPORT menceritakan kisah Diego Costa, striker kontroversial yang akhirnya kembali ke Atletico Madrid.
1. Awal Karier Diego Costa
Diego Costa pergi meninggalkan Brasil ke Eropa di usia 17 tahun. Ia menuju Portugal, bukan Belanda, Spanyol, atau negara lain yang punya struktur akademi sepakbola lebih modern dan terjamin.
Mengapa Portugal? Masalah bahasa menjadi alasannya karena Brasil menggunakan bahasa Portugis, sehingga tak butuh waktu baginya untuk beradaptasi menyesuaikan diri lagi.
Saat tiba di Portugal, ia sama sekali tidak memiliki bekal cukup selain kaki, mimpi, dan bahasa. Kabarnya ia cuma bermodalkan sandal jepit dan celana pendek khas musim panas. Beberapa media bahkan menceritakan kondisinya cukup parah karena Costa tak tahu jika saat itu tengah musim dingin di Eropa.
Mengenai masa kecilnya, Costa terbiasa bermain sepakbola jalanan. Ia dan teman-temannya tak pernah bermimpi bisa menjadi pemain profesional karena daerah tempat ia tinggal, Lagarto di Sergipe, merupakan salah satu lokasi paling tertinggal di Brasil.
Memasuki usia 15 tahun, ia memilih meninggalkan kampungnya dan hijrah ke kota yang lebih besar dengan mimpi-mimpi yang lebih besar pula, Sao Paulo. Ia tinggal bersama pamannya, Jarminho, dan bekerja di sebuah toko yang dikelolanya.
Di sini, bisa jadi nasibnya mulai terlihat. Sang paman mengetahui hasrat keponakannya untuk bermain sepakbola, dan meski Jarminho tak pernah menjadi pesepakbola profesional, ia punya koneksi cukup baik dengan figur-figur lapangan hijau.
Jarminho lalu memasukkan Diego Costa ke Barcelona Esportiva Capela, sebuah klub di Ibiuan yang dibuat khusus bagi para pecandu narkoba dan anggota gang yang ingin taubat. Secara praktik, Costa tak pernah mendapatkan pelatihan profesional.
Ungkapan 'kalo udah rejeki gak bakal kemana' nampaknya benar-benar mengampiri Costa. Super agen Jorge Mendes lalu menemukannya, mempromosikannya ke Braga, klub pertamanya di Eropa, meski di awal kedatangannya sempat luntang-lantung di utara Portugal.
2. Tidak Heran Sikap Diego Costa di Lapangan seperti 'Tak Pernah Disekolahkan'
Besar di sepakbola jalanan dan tak pernah mengecap pelatihan secara profesional di masa mudanya membuat Diego Costa begitu buas di atas lapangan. Sudah jamak melihat ia meledak-ledak kala bertanding, baik itu karena terpancing emosi atau malah dengan niat memancing emosi.
Terpaan kerasnya hidup membentuk karakter Diego Costa sedemikian rupa. Saat masih membela Barcelona Esportiva Capela dan berlaga di turnamen Taca de Sao Paulo, di pertandingan perdananya, Costa yang belum genap 17 tahun harus diskorsing empat bulan karena menampar lawannya dan juga beradu fisik dengan wasit pertandingan.
Costa memang kasar, tapi dia adalah berlian kasar, belum diasah, belum dihaluskan, keliarannya seakan dibiarkan saja, entah apa memang begitu keinginan Diego Simeone, salah satu pria paling berjasa bagi Costa atau memang si pemain tidak pernah bisa diatur.
Seperti disebutkan di awal tadi, Costa tidak pernah berlatih di akademi sepakbola saat masih di Brasil. Ia langsung menjadi pemain profesional tanpa adanya tempaan sedari kecil. Saat ia mendarat di Eropa, Costa memulai segalanya dari sepakbola jalanan.
"Dia tidak memiliki pendidikan layaknya pesepakbola pada umumnya. Dia terlibat banyak pertengkaran, terbiasa berkelahi di jalanan. Di Spanyol, kami menyebutnya 'preman taman', seperti itulah," kata Ladislao Monino, wartawan El Pais.
3. Diego Costa Memang Harus Tinggalkan Chelsea, Harus!
Costa adalah penyerang kelas dunia, striker yang haus akan gelar, gol, dan kemenangan. Tidaklah adil jika Chelsea terus mengurungnya dalam sebuah ketidakpastian. Costa harus hengkang.
Chelsea sempat menolak tawaran dari Everton senilai 70 juta pounds, bukan karena tidak ingin, tapi permintaan dari Diego Costa sendiri. Di sini, segalanya menjadi personal, bahwasanya ada ikatan antara Costa dengan Atletico Madrid.
Fran Guillen, penulis buku Diego Costa: The Art of War, menjelaskan cinta buta antara Costa dengan Atletico.
"Bahwasanya benar, Atletico adalah tim yang menyeret Costa dari lembah terdalam menuju panggung elit. Diego Simeone, merupakan sosok pahlawan baginya, Simeone begitu menghormatinya, membutuhkannya, bahkan memaksanya bermain di final Liga Champions di Lisbon saat kondisinya tidak benar-benar fit. Costa adalah striker ideal bagi Simeone dan tim, dan sebaliknya," ujar Guillen.
Simeone sendiri mengakui jika Costa adalah striker idamannya. Pengalaman unik pernah ia temui ketika pertama kali melihat Costa.
"Saat saya melihatnya di sesi latihan, saya ingin mati," kata Simeone dikutip BBC.
"Dia tak terhenti, fisiknya sungguh luar biasa. Dia memberikan segalanya bahkan di waktu latihan. Masalahnya adalah, dia tidak terkontrol," sambungnya sedikit tertawa.
Berbeda dengan media-media yang kerap mencibir perilaku kasar Costa, keterangan dari Patricia Cazon dan Monino, jurnalis Diario AS, justru mengatakan sebaliknya. Kedekatan antara mereka dengan Costa dan Simeone mengubah pandangannya.
"Hubungan kedua sosok sungguh baik. Di atas lapangan, Simeone selalu berusaha menjaga emosi Costa. Sama seperti di luar lapangan, ketika Costa diserang dari sana sini, Simeone bertingkah seperti penjaganya, ia akan melindungi Costa," terangnya.
"Simeone tahu betul karakter Costa secara personal. Menurut saya juga, Costa sebenarnya adalah pria yang kharismatik. Dia sangat lucu, menyenangkan, suka bercanda di ruang ganti bersama rekan-rekannya," sambung Monino.
"Saat Costa tengah dipinjamkan ke Rayo (Vallecano), dan pemain Atletico berada di bus mendengarkan radio sepulang dari pertandingan, mereka akan bersorak gembira mendengar nama Diego Costa (mencetak gol). Dia popular, semua orang menyukainya," tambahnya lagi.
Jika faktor Simeone tak cukup sebagai pembenaran bahwa Costa memang harus pulang ke Ibu Kota Spanyol, ada satu figur yang membuat Costa anteng. Dia adalah Tiago.
"Tiago sudah seperti ayahnya sendiri. Cuma dia satu-satunya orang yang Costa dengarkan, cuma Tiago tempat ia berkeluh kesah, bahkan Tiago sendiri yang meyakinkan Costa untuk hijrah menuju Chelsea," ungkap Monino.
Kini Tiago berstatus sebagai pelatih di Atletico Madrid. Tugasnya tentu saja memastikan jika Costa mampu menjaga emosinya. Tak heran jika Costa menjadi bahan bagi media di Inggris karena emosinya yang meledak-ledak. Bisa jadi di Chelsea ia tak memiliki sosok ayah.