Lewat Sepakbola, Pemuda Indonesia Melawan Tirani Belanda
Tanggal 28 Oktober sudah menjadi momen paling penting bagi bangsa Indonesia, dimana para pemuda Indonesia mencetuskan sumpah mereka bagi tanah air, atau yang kita kenal hingga kini sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Ingin membebaskan tanah air dari kekuasaan penjajah Belanda, maka lahirlah kelompok-kelompok perwakilan para pemuda daerah di Indonesia, seperti Jong Java, Jong Somatranen, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Islamieten, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, dan sejumlah pemuda Tionghoa.
Sumpah yang terucap tersebut lahir dari Kongres Pemuda II, dimana dalam kongres sebelumnya, para pemuda mengalami kebuntuan dalam melakukan penyatuan visi.
Tak melulu di medan perang, para pemuda Indonesia punya segudang cara melawan tirani Belanda. Salah satunya adalah menyatukan para pemuda lewat olahraga sepakbola. Terbukti sepakbola membakar semangat para pemuda untuk membuat gebrakan perubahan dan semakin menguatkan persatuan mereka.
Berikut INDOSPORT berhasil merangkum serba serbi sepakbola yang menyatukan para pemuda Indonesia zaman kolonialisme Belanda dahulu:
1. PSSI Jadi Tandingan NIVB
Banyak dari tokoh perumus Sumpah Pemuda merupakan penggila sepak bola. Hal itu memberikan kemudahan bagi mereka untuk menyatukan seluruh pemuda lewat olahraga sepakbola.
Sumpah Pemuda menjadi momen yang turut melahirkan Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), berangkat dari diskriminasi yang dilakukan oleh Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) pada para pemuda INdonesia.
Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) menjadi salah satu klub yang turut ikut membentuk PSSI kala itu. PSSI sendiri pertama kali diketuai oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo.
PSSI lantas kemudian hadir sebagai asosiasi yang mewadahi para pemuda Indonesia untuk menyalurkan hobi dan bakat olahraga, sekaligus menjadi senjata untuk melawan perlakukan semena-mena yang dilakukan oleh NIVB pada para pemuda Indonesia.
2. Perjuangan Sepak Bola Jong Sumatranen
Belanda memberikan kesempatan bagi para pemuda Padang untuk menjajal kemampuan sepakbola mereka pada 1901 silam. Maka, lahirlah kemudian yang kala itu mereka sebut dengan Padangsche Voetball Club (PSV).
Padang mendadak menjadi kota sepakbola, terlebih usai berkembangnya menjadi enam klub. Semua klub tersebut kemudian mendirikan asosiasi sepakbola pertama di Indonesia untuk para pemuda Sumatera Barat, West Sumatran Football Association (WSVB).
Plein van Rome menjadi arena laga tarung antara klub-klub tersebut. Pertarungan antar etnis pun tak terelakan, namum sepakbola kembali menjadi kunci yang untuk menyatukan mereka dalam membangun dan mengembangkan olahraga itu lebih besar lagi.
Dunia sepakbola Sumatera Barat semakin seru usai Sparta, klub sepak bola tentara KNIL Belanda turut bergabung dalam laga tersebut. Sepakbola menjadi ajang unjuk gigi pemuda Indonesia dihadapan para penjajah negara mereka.
3. Pemuda Indonesia Jajal Piala Dunia 1938
Sebelum menyebutnya sebagai Indonesia, tanah air mengenal mereka sebagai Timnas Hindia-Belanda. Mereka tercatat pernah berkesempatan berkiprah di Piala Dunia 1938.
Ajang sepakbola internasional yang kala itu dihelat di Prancis menjadi saksi betapa briliannya gaya permainan sepak bola para pemain Indonesia, meski di sisi lain, sistem pertahanan mereka menjadi titik kelemahan.
Sayangnya, timnas Hindia-Belanda terpaksa kembali ke tanah air lebih cepat usai Hungaria berhasil menekuk habis 6-0 dalam sekali pertandingan. Sistem gugur menjadi faktor Hinda-Belanda segera angkat koper dari Piala Dunia.
Koran Perancis L’Equipe, edisi 6 Juni 1938 kala itu turut menurunkan komentar soal gaya permainan Indonesia di Piala Dunia. "Gaya menggiring bola pemain depan Tim Hindia Belanda, sungguh brilian, tapi pertahanannya amburadul, karena tak ada penjagaan ketat," dilansir BBC Indonesia.
4. Politisi Handal Dalam Skuat Sepakbola
Sejarah mencatat sosok Soekarno sebagai Presiden pertama Indonesia. Namun tak banyak yang tahu, proklamator itu merupakan salah satu pemain sepaknbola handal era 1914-1916.
Lain dari Soekarno, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir tercatat sebagai striker yang cukup mumpuni ketika mereka berkiprah bersama Jong Sumatrenan Bond kala itu.
Sosok kontroversial yang melahirkan buku berjudul 'Madilog', Tan Malaka dikenal sebagai salah satu tokoh politik yang getol memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari balik layar. Dalam sepakbola, ia mendapat julukan Si Kijang karena larinya yang cepat dan lincah.
Mereka semua adalah bagian dari sejumlah politisi lainnya yang gerah akibat aksi rasialisme yang dilakukan Belanda kala itu. Sering kali dalam banyak ajang olahraga yang diselenggarakan oleh mereka, masyarakat Indonesia dilarang hadir, hingga mereka memasang papan peringatan "Verbooden voor Inlanders en Houden", yang artinya "Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing".
5. Pertarungan Multi-Etnis di Lapangan Hijau
Tahun 1930-an menjadi era pertarungan sepakbola bagi para pemuda dari tiga etnis berbeda yang berada di Indonesia. Para pemuda Belanda, Tionghoa, dan Indonesia berebut kemenangan demi harga diri bangsa.
Usai kemunculan Nederlandsche Indische Voetbal Unie (NIVU), berdirilah Persatuan Sepak Bola INdonesia (PSSI), disusul asosiasi sepak bola bagi para pemuda Tionghoa di Indonesia, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB).
Kehadiran NIVU sempat menjadi hambatan untuk mengirimkan kesebelasan Indonesia yang lolos ke Piala Dunia 1938. Sempat bersitegang, akhirnya tidak mengatasnamakan PSSI, namun NIVU, akhirnya para pemuda itu tetap berangkat ke Prancis.
Kesebelasan Indonesia (Hindia-Belanda) rupanya tembus ke Piala Dunia untuk menggantikan Jepang yang mengundurkan diri karena kendala transportasi yang tenga mereka hadapi saat itu.