3 Dampak Negatif Bentroknya Piala AFF dengan Liga 1 2018
INDOSPORT.COM - Dengan dimulainya laga grup B Piala AFF 2018 antara Timnas Indonesia vs Singapura pada Jumat (09/11/18) lalu, maka turnamen Piala AFF dan Liga 1 pun resmi bentrok.
Seperti kita ketahui, di tanggal tersebut ada tiga pertandingan liga yang digelar, yaitu Madura United vs Bhayangkara FC, Persib vs PSMS, dan Mitra Kukar vs Persela.
Bentrok jadwal ini pun akan terus berlanjut sampai 9 Desember nanti di mana empat pekan terakhir Liga 1 tetap digelar. Sementara itu kompetisi Piala AFF baru selesai 15 Desember 2018.
Indonesia pun menjadi satu-satunya negara peserta Piala AFF 2018 yang liganya masih berjalan di tengah turnamen berlangsung.
Sebagai perbandingan berikut ini tanggal selesainya liga-liga domestik negara anggota AFF:
- V-League (Vietnam): 13 Oktober
- Super Lague (Malaysia): 29 Juli
- National League (Myanmar): 23 September
- C-League (Kamboja): 22 September
- Lao Premier League (Laos): 4 Agustus
- Thai Premier League (Thailand): 7 Oktober
- Liga 1 (Indonesia): 9 Desember
- PFL (Filipina): 25 Agustus
- Singapore Premier League: 9 Oktober
- LFA Primeira (Timor Leste): 5 Agustus
Kegagalan PT LIB dalam membuat jadwal yang ideal tentunya mengundang kritik dari banyak pihak. Sebab, bentroknya kedua agenda penting ini akan memunculkan dampak besar.
Apa saja dampaknya? Berikut INDOSPORT tuliskan ulasannya.
1. 1. Pemanggilan Pemain yang Tak Maksimal
Dengan berjalannya liga saat timnas bertarung di Piala AFF membuat tim pelatih secara tersirat 'mengalah' dalam pemanggilan pemain.
Bayangkan, baru dua pemain saja yang dipanggil sudah membuat klub-klub kelimpungan.
Kita ambil contoh Sriwijaya FC. Saat dua pemainnya, Alberto Goncalvez dan Zulfiandi, dipanggil timnas, manajemen Laskar Wong Kito langsung minta kelonggaran terhadap PSSI lantaran saat itu mereka sangat butuh poin demi lolos degradasi di laga melawan Persipura.
Namun, permintaannya ditolak. Klub pun tak bisa apa-apa. Padahal, penjadwalan yang semrawutlah yang menjadi penyebabnya.
PSSI menerapkan peraturan tegas berupa denda dan sanksi jika klub menolak melepas pemain.
Saat ini isi skuat di Timnas Indonesia tak lebih dari dua pemain dari masing-masing klub. Padahal, sejumlah klub seperti Barito Putera memiliki banyak pemain yang cukup layak dipanggil selain juga Gavin dan Rizky Pora.
Kondisinya serba salah di mana Timans butuh pemain, sementara klub juga membutuhkan pemain.
Bandingkan dengan Piala AFF 2010 di mana skuat asuhan Riedl kala itu bebas memanggil lima pemain sekaligus dari Arema dan enam dari Sriwijaya FC. Hal itu wajar karena kala itu Arema dan Sriwijaya menjadi klub terbaik di tanah air dan liga pun telah usai sebelum turnamen.
2. 2. Klub Jadi Korban dan Liga 1 yang Antiklimaks
Mengapa antiklimaks? Bayangkan, ketika liga sedang berjalan seru-serunya, namun pilar-pilar klub harus pergi meninggalkan tim.
Salah satu contohnya adalah yang dialami oleh Persija. Macan Kemayoran yang berpotensi meraih gelar juara, kehilangan Andritany Adhiyaksa dan Riko Simanjuntak.
Persib Bandung harus kehilangan Febri Hariyadi dan Bali United kehilangan motornya, Stefano Lilipaly.
Hanya PSM yang 'beruntung' tak ada pemainnya yang diapnggil timnas. PSM pun kini dijagokan juara.
Di persaingan papan bawah, Sriwijaya yang tengah berjuang di zona degradasi harus terpaksa kehilangan Zulfiandi dan Beto Goncalves.
Rasanya jarang kita temui kondisi seperti ini di liga lain, bahkan di Asia sekali pun.
3. 3. Penampilan Timnas Indonesia yang Tak Maksimal di Piala AFF
Apalagi output-nya jika bukan komposisi tim nasional. Kita tentunya tidak bisa menyalahkan klub-klub yang protes.
Secara psikologis, ada rasa 'tak enak' dari tim kepelatihan jika harus memanggil banyak pemain dari suatu klub.
Apalagi bentrok-bentrok jadwal seperti ini berlaku juga di laga persahabatan internasional plus pemusatan latihan.
Tim pelatih tak bisa sesuka hati memilih pemain dan sedikit banyak berpengaruh pada kekuatan timnas di Piala AFF.
Terus Ikuti Perkembangan Sepak Bola Seputar Piala AFF 2018 Hanya di INDOSPORT.COM.
.