Cerita Jairo Matos, Bintang Brasil Pertama yang Jajal Kerasnya Sepak Bola Indonesia
INDOSPORT.COM - Kota Medan masih menjadi tempat yang spesial bagi seorang Jairo Matos. Sepotong kisah hidupnya melekat di sana dan masih terus dikenangnya.
Ada perjalanan yang mesti dilalui oleh pria kelahiran Brasil 65 tahun lalu untuk bisa sampai menjejakkan kaki di Indonesia. Sepak bola menjadi pintu yang mempertemukan Jairo pada negeri ini.
Sejumlah kerinduan selalu membawa Jairo memboyong keluarganya kembali ke Indonesia, tempat yang justru sama sekali bukan negara asalnya.
Meski demikian Jairo kerap menolak jika dikatakan bahwa dirinya meninggalkan negara kelahirannya untuk bermain sepak bola ke luar negeri.
“Banyak orang belum tahu, saya bukan memilih pergi dari Brasil, tapi menerima suatu undangan dari Jepang,” kenangnya dulu dalam perbincangannya dengan redaksi berita olahraga INDOSPORT.
Tahun 1974, klub Jepang Yomiuri FC, yang kini bernama Tokyo Verdy, memang mengirimkan pihaknya ke Brasil untuk merekrut bakat-bakat muda.
Di antara para pemain muda yang direkrut kala itu adalah Jairo yang akhirnya mencari peruntungan di klub Liga Jepang Tokyo Verdy selama 9 tahun.
Merumput di kompetisi sepak bola Negeri Sakura, Jairo justru sedikit terganggu dengan suhu dari negara tersebut.
“Saya agak kedinginan di Jepang,” katanya. Hal ini rupanya menjadi salah satu pertimbangannya untuk menerima pinangan seorang asal Belanda yang menawarkan Jairo untuk bermain di Indonesia.
Potongan Memori di Tanah Batak
Adalah Pardedetex, klub asal Sumatera Utara yang tengah berkompetisi di era Galatama, yang berhasil mencuri perhatian Jairo kala itu.
“Kalau bukan karena Pardedetex, saya hampir mustahil ada di Indonesia sampai sekarang,” katanya antusias saat mengingat klub milik Tumpal Doranius Pardede tersebut.
Tahun 1982, Pardedetex menjadi klub yang berhasil membuat Jairo menjadi pemain pertama Brasil yang merumput di sepak bola Indonesia.
Maklum, sang bos Pardedetex, Tumpal Doranius Pardede adalah salah satu pengusaha terkaya di Indonesia pada era-nya.
Ketika itu era 80-an kekayaan Tumpal Pardede ditaksir tembus Rp50 miliar, dan jika dikonversi nilai mata uang pada saat ini,kekayaannya ditaksir capai triliunan rupiah.
Tak hanya Jairo, kala itu Pardede juga merekrut sejumlah bintang timnas era 70-an, seperti Iswadi Idris, Sucipto Suntoro, Abdul Kadir, dan M. Basri.
Namun kejayaan tim ini sirna setelah sang pemilik kecewa dengan kondisi persepak bolaan nasional Indonesia, awal 1980-an Pardedetex dibubarkan dan mundur dari kompetisi Galatama.
Pardedetex membawa Jairo merasakan atmosfer suporter yang berbeda dari yang dirasakannya di Jepang dulu.
“Penonton-penonton Indonesia beda jauh dari Jepang. Penonton Indonesia itu cinta sepak bola. Atmosfer suporter dan suhu yang buat saya pindah dari Jepang ke Indonesia,” katanya.
Menurut Jairo, suasana sepak bola Indonesia dengan keberadaan puluhan ribu suporter mirip dengan Brasil. Sayangnya, jalinan cinta antara Jairo dan Pardedetex harus berakhir pada 1984, buntut dari regulasi anyar kompetisi Galatama yang melarang adanya pemain asing di klub yang bermain.
“Saat itu saya tidak tahu alasanya apa, pemain asing tidak diperbolehkan, habis sepak bola Galatama,” katanya. Hal itu, ia yakini sebagai alasan kenapa sepak bola Indonesia sempat melamban.
Tapi hal itu tak lantas membuat Jairo kacang lupa kulit. Dalam ingatannya terus terekam bagaimana Pardedetex memperlakukannya.
“Saya berterimakasih kepada Pardedetex karena bisa menerima saya di sini dan memberikan yang terbaik buat saya,” kata Jairo yang sempat didesak banyak orang untuk menjadi WNI pada tahun 1978 silam.
Cinta Mati Indonesia
Usai adanya larangan tersebut, Jairo pun pulang ke Brasil sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dari kariernya sebagai pesepakbola di sana.
Namun, tepat tahun 1988 ia kembali memboyong istri dan kedua anaknya ke Indonesia hingga akhirnya menetap di sini. Salah satu anaknya sekarang bernama Jaino Matos menjabat jadi General Manager Pembinaan Badak Lampung FC.
Ada kepercayaan yang memang hingga kini masih terus tertanam di dalam hati dan pikirannya soal sepak bola di Indonesia.
“Saya memilih kembali ke Indonesia untuk mengurus sepak bolanya,” kata Jairo. “Saya pikir sepak bola Indonesia punya potensi yang luar biasa,” kata Jairo lagi.
Di mata Jairo, masyarakat Indonesia sangat menikmati dan mencintai olahraga ini. “Saya mau bantu membangkitkan sepak bola Indonesia,” ujarnya lagi.
Kata-katanya itu ia buktikan lewat keputusannya ke Jakarta untuk membangun satu tim sekolah sepak bola pada tahun 1990-an.
Tak berhenti di situ. Setelahnya, Jairo pun kembali melanjutkan karirnya sebagai pelatih bagi sejumlah klub daerah di Sumatera Utara. Sebut saja Tapanuli Utara dan Harimau Tapanuli.
“Saya mencari pemain-pemainnya sampai ke kampung-kampung Tapanuli Utara, Balige, Samosir, dan Porsea,” kata pria yang merasa nyaman tinggal di Medan.
Meski senang menetap di Indonesia, Jairo hingga kini masih menyandang status warga negara Brasil. Di balik statusnya tersebut, rupanya terselip secercah harapan untuk menjadi bagian dari WNI.
“Walaupun saya cinta dan memiliki keluarga di Indonesia, saya tetap masih orang Brasil. Tapi jika suatu saat saya harus pindah warga negara, saya tidak keberatan,” tutup Jairo Matos menutup pembicaraan.