Mukjizat RB Leipzig, Klub Kemarin Sore yang Semakin Bersinar di Liga Champions
INDOSPORT.COM - Berikut secarik kisah akan mukjizat wakil Bundesliga Jerman, RB Leipzig. Klub kemarin sore yang semakin bersinar di Liga Champions.
Bernama lengkap RasenBallsport Leipzig, mereka merupakan salah satu klub asal Jerman berbasis di Leipzig, Saxony ,dengan logo dua banteng tengah beradu bola di tengahnya.
Hampir 11 tahun lalu, tepatnya pada 19 Mei 2009, berdiri klub yang diprakarsai karyawan dan manajemen perusahaan minuman berenergi asal Austria, Red Bull GmbH.
Manajemen perushaan tersebut membeli hak dari klub divisi kelima SSV Markranstadt. Lalu klub tersebut langsung menunjuk Andreas Sadlo sebagai ketua.
Sadlo dipilih karena dikenal sebagai seorang agen pemain di Jerman dan bekerja di salah satu agensi sepak bola yang cukup ternama.
Namun, Sadlo juga harus melepas pekerjaan tersebut karena peraturan sepak bola Jerman tak membolehkan. Bahkan Sadlo juga menunjuk Joachim Krug sebagai Direktur Olahraga.
Sedangkan untuk pelatih dipercayakan kepada Tino Vogel, yang notabene putra mantan pesepak bola Jerman Timur, Eberhard Vogel.
Bersama Vogel, RB Leipzig pun menjajaki kompetisi NOFV-Oberliga Süd (V). Edisi 2009-2010, mereka sukses naik kasta usai finis di posisi pertama.
Lalu kala tampil di Regionalliga Nord (IV), RB Leipzig ditinggal Sadlo. Posisi tersebut diambil alih eks Direktur Olahraga Hamburg SV dan ketua komitmen sepak bola Red Bull, Dietmar Beiersdorfer.
Kursi kepala pelatih pun turut kena dampaknya, di mana Vogel dilepas dan Tomas Oral dipercaya menukangi RB Leipzig untuk musim 2010-2011.
Hasilnya, RB Leipzig finis di posisi empat dengan mengoleksi 64 poin. Musim berikutnya RB Leipzig kembali mengganti pelatih, yaitu Peter Pacult (Australia).
Bersama Pacult, RB Leipzig dibawah finis lebih baik, yakni urutan ketiga dengan 73 angka. Hal ini tak lepas dari performa para pemain.
Pada 2012-13, RB Leipzig menunjuk Alexander Zorniger untuk menjadi pelatih. Mereka mampu naik kasta dan menjadi juara Regionalliga Nord.
Tak hanya itu, bersama Zorniger, RB Leipzig sukses naik kasta ke Bundesliga 2 Jerman usai pada musim 2013-2014 finis di urutan kedua dengan perolehan 79 poin.
Namun, Zorniger harus undur diri pada pertengahan musim 2014-2015 (10 Februari). RB Leipzig pun dengan sigap menunjuk Achiem Beierlorzer hingga akhir musim dan finis di urutan kelima (50 poin).
Lalu Ralf Rangnick pun ditunjuk menjadi pelatih RB Leipzig edisi 2015-2016. Sentuhannya mampu membuat klub naik kasta ke Bundesliga Jerman usai finis di posisi kedua (67 poin).
Bahkan ketika mentas di Bundesliga, kemampuan RB Leipzig di bawah komando Ralph Hasenhutti (dikontrak dua musim) sukses menggebrak tradisi lama.
Pasalnya, RB Leipzig finis di urutan kedua dan berhak tampil di Liga Champions musim depannya. Klub berjuluk Die Roten Bullen (Si Banteng Merah) ini mencatatkan sejarah luar biasa.
Namun, mereka hanya finis di posisi keenam pada musim 2017-2018. Meski kurang bersinar di Liga Champions, RB Leipzig sukses maju hingga perempat final ketika kalah dari Marseille (agregat 3-5).
Memasuki 2018-2019, RB Leipzig juga finis di urutan ketiga sehingga kembali tampil di Liga Champions lagi. Mereka juga menjadi runner-up di DFB-Pokal.
Belajar dari musim lalu, RB Leipzig pun sukses menduduki puncak Grup G dengan mengumpulkan 11 poin dari enam pertandingan terakhir.
Di babak 16 besar pun, RB Leipzig juga sukses mempecundangi Tottenham Hotspur dalam dua laga terakhir, yakni 0-1 dan 0-3 (agregat 0-4).
Kini RB Leipzig tengah menunggu lawan di perempat final Liga Champions. Padahal, mereka dulu merupakan klub kemarin sore alias baru di pentas tersebut.
Menggebrak Tradisi
Banyak suara miring dari para fans sepak bola di seluruh penjuru Jerman tentang kemunculan RB Leipzig. Terutama, karena kuatnya kekuatan finansial tim tersebut yang banyak disebut berasal dari perusahaan komersil.
Di Jerman sendiri, klub sepak bola benar-benar dipandang sebagai institusi olahraga dan juga sosial. Oleh karena itu, klub yang terlalu mengedepankan bisnis otomatis dibenci oleh para fans.
RB Leipzig pun dipandang sebagai klub instan, melihat usianya masih setara dengan anak kemarin sore. Namun sudah mampu konsisten di Bundesliga dan bahkan sekarang mulai rutin masuk Liga Champions.
Di sisi lain, sedari awal Dietrich Mateschitz menanamkan modalnya di Leipzig, perusahaan yang dipimpin olehnya sudah dicap sebagai perusak kultur sepak bola Jerman.
Tidak hanya sebatas itu, sebuah klub di Jerman dipandang sebagai sebuah institusi sosial sehingga mayoritas saham klub harus dimiliki oleh member klub atau anggota tim.
Hal ini tentu jadi masalah tersendiri bagi para investor asing. Selain itu, federasi sepak bola Jerman juga menerapkan aturan 50+1.
Artinya, minimal 51 persen saham klub harus diakusisi oleh para suporter sendiri dengan tujuan menyehatkan keuangan klub. Masa depan klub juga harus sejalan dengan keinginan para suporter, di samping agar tidak boleh dikuasai pihak asing.