Cerita Imigran Muslim yang Berjasa di Balik Kesuksesan Timnas Prancis
INDOSPORT.COM - Bagaimana para pemain imigran dari negara muslim dan Afrika bisa begitu mendominasi skuat Timnas Prancis?
Timnas Prancis menjadi salah satu kesebelasan yang paling diperhitungkan di percaturan sepak bola dunia. Dalam lebih dari dua dekade terakhir, mereka selalu mampu berbicara banyak di panggung Piala Dunia dan Piala Eropa.
Meski begitu, sepak bola mereka mereka sempat mengalami kemunduran di dekade 60-an dan 70-an ketika mereka gagal menembus Piala Dunia dan Piala Eropa.
Namun Prancis mampu bangkit dengan merebut gelar Piala Dunia pertama mereka di tahun 1998 di hadapan publik sendiri setelah absen di edisi 1990 dan 1994.
Kesuksesan Les Blues berlanjut ketika mereka menjuarai Piala Eropa 2000 di Belgia-Belanda. Kemudian dilanjutkan dengan bermain di final Piala Dunia 2006 sebelum dikalahkan oleh Italia.
Bahkan, pada Piala Dunia 2018 lalu Prancis sanggup keluar sebagai juara untuk kedua kalinya setelah di tahun 2014 mereka hanya berhasil ke babak perempatfinal.
Kesuksesan Prancis ternyata tidak digapai 'sendiri'. Faktanya banyak pemain bukan asli Prancis yang berjasa di dalamnya.
Andai ditanya apa kesamaan Prancis di Piala Dunia 1998 dan 2018 maka dominasi pemain imigran adalah jawabannya. Selama puluhan tahun Timnas Prancis memang dihuni banyak pemain Imigran mulai dari Zinedine Zidane, Marcel Desailly, sampai Karim Benzema, Paul Pogba, Kylian MBappe, Samuel Umtiti, dan masih banyak lainnya.
Dan bukan kebetulan pula mereka dihuni banyak pemain imigran. Justru para pemain imigranlah yang berjasa membangkitkan sepak bola Prancis.
Imigran Muslim dan Kebangkitan Prancis
Prancis sebetulnya memiliki banyak talenta berbakat di masa silam. Buktinya mereka sanggup menempati posisi ketiga Piala Dunia 1958.
Namun, di banding Italia atau Jerman, Prancis bukanlah negara yang begitu kaya talenta sepak bola. Hal ini berdampak pada keterpurukan mereka di awal 60-an sampai tahun 1974 ketika mereka tak sekalipun berlaga di Piala Dunia dan Piala Eropa.
Kegagalan tersebut membuat Federasi Sepak Bola Prancis (FFP) mengadakan reformasi besar-besaran pada akademi sepak bola mereka di tahun 1972. Institut National du Football menjadi akademi pertama di Prancis.
Dalam akademi ini, Prancis secara terbuka membuka kesempatan kepada anak-anak imigran dari bekas negara jajahan mereka di negara muslim seperti Maroko, Aljazair, hingga Tunisia.
Seperti Kanada, Prancis sendiri merupakan negara yang terbuka terhadap imigran. Selain Maroko, Aljazair, dan Tunisia, mereka juga menampung imigran dari wilayah jajahan mereka di Afrika seperti Guinea dan lain sebagainya.
Pada mulanya imigran ini hanya mencari kehidupan di Prancis yang membuat warga pribumi merasa resah.
Namun, anggapan negatif terhadap imigran perlahan luntur ketika anak-anak imigran ini sanggup membantu tim sepak bola Prancis di pentas Eropa dan dunia.
Salah satu yang menonjol adalah Zinedine Zidane. Gelandang Prancis kelahiran Marseille ini memiliki orang tua asli dari negara muslim Aljazair.
Siapa sangka, Zidane justru menjelma menjadi pemain terbaik yang pernah dilahirkan di Prancis. Ia membantu Prancis memenangkan Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.
Di angkatan Zidane saja ada cukup banyak pemain imigran yang berjasa di tim Prancis seperti Lilian Thuram dan Marcel Desailly.
Makin Berlanjut
Bahkan, keberadaan para imigran dari negara-negara muslim dan Afrika ini semakin menjadi-jadi di sepak bola Prancis.
Pada Piala Dunia 2018 saja ada 15 orang pemain Prancis yang lahir dari imigran. Angka ini melebihi jumlah pemain pribumi di tim Les Blues.
Keberadaan mereka tersebar di semua posisi mulai dari kiper, bek, gelandang, sampai penyerang. Sejumlah nama pemain keturunan imigran di tim Prancis saat itu adalah Paul Pogba (keturunan Guinea), Samuel Umtiti (Kamerun), Kylian Mbappe (Kamerun), Adil Rami (Maroko), Thomas Lemar (Nigeria), N'golo Kante (Mali), Ousmane Dembele (Nigeria), Nabil Fekir (Algeria), Benjamin Mendy (Senegal), Blaise Matuidi, dan lainnya.
Hal ini sempat mengundang cibiran dari maestro sepal bola Argentina, Diego Maradona. Maradona kesal dengan banyaknya pemain Afrika di Prancis.
“Mereka (pemain imigran) menginginkan kesempatan untuk membuktikan nilai mereka, untuk bisa makan empat kali sehari,” cibir Maradona.
Suka tidak suka, para keturunan imigran ini telah menjadi tulang sepak bola Prancis dan mengangkat harkat dan martabat bangsa. Rakyat Prancis pun mati-matian mendukung mereka.
Andai saja Prancis dahulu tidak membuka kesempatan bagi para imigran, mungkin sepak bola mereka tak akan sehebat seperti sekarang ini.
Tentu mereka tetap memiliki MIchele Platini, Jan Pierre Papin, Laurent Blanc, atau Antoine Griezmann dalam buku sejarah mereka. Namun tanpa dua gol Zinedine Zidane di final 1998 atau aksi Paul Pogba di 2018, Tim Ayam Jantan tak akan memiliki dua bintang di atas lambang federasi mereka.