AC Milan, Gagap Pekerjakan Mantan Hingga Revolusi Gazidis yang Miris
INDOSPORT.COM - Klub Serie A Italia, AC Milan, terengah-engah mengembalikan kejayaan di masa lalu. Bukan mendapat hasil maksimal, I Rossoneri justru nir prestasi di Serie A Italia dan Liga Champions dalam satu dekade terakhir.
AC Milan dikenal sebagai klub besar nan glamor yang sarat akan prestasi saat kepemilikan klub masih berada di tangan mantan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi. Di bawah raja media negara pizza itu, klub Merah-Hitam berhasil meraih total 25 gelar baik domestik maupun internasional.
Bersama Adriano Galliani sebagai wakil presiden, Berlusconi berhasil membuat Rossoneri sebagai klub yang paling dihormati di Italia, setidaknya hingga musim 2010/11. AC Milan tak hanya mampu merebut beragam gelar, juga menyuguhkan permainan cantik yang tentu selalu dikenang oleh para Milanisti.
Keberhasilan duet Berlusconi-Galliani tentu juga berkat bantuan dari banyak pihak, termasuk sang juru taktik. Hal yang menarik adalah AC Milan beberapa kali sempat mempekerjakan mantan pemainnya untuk mengisi kursi kepelatihan.
Pada era 2000-an, nama-nama mantan pemain yang berkesempatan meracik skuat Diavolo, yakni Carlo Ancelotti, Leonardo de Araujo, Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, hingga Gennaro Gattuso.
Carlo Ancelotti menjadi eks pemain AC Milan pertama di era 2000-an yang dipercaya menjabat sebagai allenatore Diavolo. Milan panen prestasi dalam formasi 'pohon natal' ala Ancelotti, 4-3-1-2.
Formasi pohon natal membuat Milan merengkuh dua trofi Liga Champions 2002/03 dan 2006/07. Ya, sebenarnya Rossoneri bisa tiga kali memboyong 'Si Kuping Besar', jika saja Liverpool tak merusak indahnya malam di Istanbul pada final Liga Champions 2004/05.
Keberhasilan Ancelotti tampak membuat Milan gagap dalam mempekerjakan mantan pemain. Sebut saja Clarence Seedorf yang hanya bertahan empat bulan di San Siro dengan statistik mengecewakan.
Selanjutnya, pada musim 2014/15 Fillipo Inzaghi dipercaya menggantikan posisi Clarence Seedorf. Namun, ia gagal mengantarkan Milan kembali ke papan atas Serie A. Sadar bahwa tekanan di Milan cukup tinggi, ia pun menerima pemecatan yang dilakukan oleh Adriano Galliani, CEO Milan pada 2015 silam.
Hingga pada tahun 2017, Silvio Berlusconi menjual saham kepemilkan AC Milan kepada pengusaha asal China, Yong Hong Li. Harapan mulai muncul ketika presiden baru mendatangkan 12 pemain dengan menghabiskan total kurang lebih 3,2 triliun rupiah, namun bukan membawa prestasi Milan malah terkena sanksi karena pemalsuan data keuangan klub (Financial Fair Play) oleh UEFA.
Tak bisa bertahan lama, di 2018 Yong Hong Li memutuskan untuk menjual Milan kepada Elliot Manajemen karena ia tak bisa melunasi hutang saat membeli klub ini dari Berlusconi. Dibawah naungan perusahaan asal Amerika Serikat itu, membawa mantan CEO Arsenal Ivan Gazidis untuk menjadi ujung tombak di jajaran manajemen.
Eks punggawa Milan terakhir yang sempat menahkodai Rossoneri di bawah Elliot Manajemen ialah Gennaro Gattuso. Berbeda dari senior-seniornya, pelatih berjuluk Rino itu tidak dipecat, melainkan sengaja mengundurkan diri. Gattuso bahkan merelakan 90 persen gaji yang seharusnya ia dapatkan dari sisa kontrak bersama Diavolo.
Gattuso memang gagal membawa Rossoneri lolos ke Liga Champions 2019/20, namun itu bukan alasan dari keputusan Gattuso. Menurut Tuttomercato, perbedaan pandangan strategi antara Gattuso dan CEO Milan, Ivan Gazidis menjadi alasan Rino angkat kaki dari San Siro.
Kala itu, Gattuso meminta klub untuk mendatangkan sejumlah pemain berpengalaman demi meningkatkan kualitas tim, namun Elliott tak pernah memberi lampu hijau.
Jika dilihat kembali kegagalan AC Milan bersama pelatih-pelatih yang notebene merupakan eks punggawa Rossoneri rupanya tak lepas akan kesalahan masa lalu Berlusconi-Galliani yang hobi belanja pemain demi menjaga kualitas tim.
Ya, Silvio Berlusconi tak sepenuhnya sempurna, hobi belanja pemain dan pembangunan besar-besaran rupanya meninggalkan masalah keuangan di tubuh Si Merah-Hitam yang hingga kini belum tuntas.
Masalah finansial ini bisa jadi membuat Milan ciut menggaet pelatih profesional. Pasalnya, pelatih pro tentu akan meminta klub untuk mendatangkan pemain-pemain berpengalaman yang berarti ini akan membuat dompet Milan makin menjerit.
1. Revolusi Gazidis yang Menyayat Hati
Musim ini geliat Milan perlahan mulai terlihat, meski belum mampu merusak hegemoni Juventus namun Rossoneri memiliki proyek besar dengan direktur Paolo Maldini, yang merupakan legenda klub dan pelatih Stefano Pioli.
AC Milan kini berada di urutan ketujuh klasemen sementara Serie A Italia 2019/20 hingga giornata ke-26. Namun, tampaknya manajemen klub tak sabar melihat Rossoneri kembali berjaya di kancah Eropa.
Muncul lah ide perombakan besar-besaran di klub, yang dicanangkan oleh sang CEO, Ivan Gazidis yangkemudian disebut sebagai Revolusi Gazidis. Ide ini berupa pemecatan Stefano Pioli dan merekrut eks pelatih RB Leipzig, Ralf Rangnick serta menjual beberapa peman yang memiliki gaji besar di tubuh Rossoneri.
Meski baru rencana, ide Gazidis telah menuai kecaman karena nampak tidak menghargai kinerja Stefano Pioli yang membuat Rossoneri mulai menunjukkan penampilan apiknya.
Zvonimir Boban menjadi sosok yang paling menentang ide eks CEO Arsenal tersebut. Dikutip dari Il Giornale, Boban menganggap Gazidis sebagai diktator. Ia pun menyayangkan sikap CEO yang mengikat kontrak dengan Rangnick pada Desember 2019.
Namun, imbasnya Boban justru didepak dari jabatannya sebagai Chief Football Officer AC Milan per 7 Maret 2020.
Rumor kedatangan Ralf Rangnick terus berlanjut hingga saat ini. Parahnya, pria berpaspor Jerman itu dikabarkan tak puas hanya menjabat sebagai pelatih. Ia juga ingin mendapat mandat sebagai direktur klub.
Hal ini berarti akan banyak pihak yang tersakiti jika Rangnick benar-benar tiba di San Siro, termasuk Paolo Maldini yang kini menjabat sebagai direktur. Padahal, Maldini sudah berhasil mendatangkan beberapa pemain andal seperti Theo Hernandez dan Ismael Bennacer.
Lebih lanjut, apakah Sobat INDOSPORT yakin revolusi Gazidis bakal membuat pengaruh di Milan dan membawa klub kembali meraih kejayaan di era Berlusconi? Atau malah membuat Rossoneri menjadi klub medioker?