Thiago Alcantara: Kepingan yang Terlalu Dipaksakan Liverpool
INDOSPORT.COM – Thiago Alcantara seperti menjadi pembelian gagal Liverpool karena terlihat tak memberi banyak dampak ke tim sehingga membuatnya seperti kepingan yang dipaksakan The Reds di lini tengah.
Liverpool kembali membumi setelah menerima kekalahan 0-2 dari Everton di Derby Merseyside dalam lanjutan Liga Inggris 2020/21.
Kekalahan ini menjadi kekalahan kali keempat Liverpool di kandang di Liga Inggris. Kekalahan ini pun menambah buruk catatan The Reds sepanjang 2020/21 ini.
Banyak yang menduga laju buruk ini berasal dari ketidakmampuan FSG selaku pemilik mendatangkan pemain berkualitas di musim panas lalu.
Namun anggapan ini tak sepenuhnya benar. Pasalnya, FSG memberikan Liverpool cukup dana sehingga mendatangkan pemain apik sekelas Thiago Alcantara di musim panas dan para pemain berkualitas seperti Diogo Jota, Kostas Tsimikas, Ozan Kabak dan Ben Davies untuk menambah kedalaman skuat.
Dari sederet pemain berkualitas yang didatangkan tersebut, hanya Diogo Jota saja yang dinilai banyak memberikan kontribusi lewat gol-golnya dan kemampuannya di lini depan.
Malahan, Thiago yang digadang-gadang jadi pembelian terbaik Liverpool malah dicap melempem karena tak memberikan kontribusi berarti selama bermain sebagai starter maupun saat masuk sebagai pemain pengganti.
Thiago sendiri merupakan pemain berkualitas dengan bakat mumpuni dalam melepaskan umpan. Sebagai perbandingan, perannya sama seperti Jorginho di Chelsea.
Pemain sepertinya nyatanya sangat dibutuhkan Liverpool untuk mendominasi lini tengah. Wajar jika di awal kedatangannya, Thiago disebut sebagai kepingan The Reds yang hilang.
Akan tetapi, sejauh ini kehadiran Thiago Alcantara sebagai kepingan Liverpool yang hilang nampak seperti sesuatu yang dipaksakan mengingat perbedaan permainan antara The Reds dan dirinya.
1. Thiago Alcantara Terlalu Dipaksak Ikut Gaya Bermain Liverpool
Thiago Alcantara berstatus sebagai gelandang kreatif di sepak bola Eropa. Selain punya kualitas mumpuni, ia juga dianugerahi skill menawan yang membuatnya dipuja-puja.
Apa yang ia miliki menjadi sesuatu yang hilang di Liverpool. Sebagaimana diketahui, di era Jurgen Klopp, The Reds lebih didominasi gelandang enerjik ketimbang gelandang kreatif.
Alhasil, Thiago yang berada dalam masa-masa akhir kontraknya bersama Bayern Munchen pun didatangkan untuk mengisi peran gelandang kreatif Liverpool.
Sayang kepindahan ini nyatanya berubah menjadi bencana. Gaya permainan Liverpool berbeda jauh dengan kemampuan yang ia miliki.
Singkat saja, Liverpool di bawah arahan Klopp lebih bermain melebar ketimbang dari tengah. Pola 4-3-3 yang dimainkannya memaksa peran Thiago malah berfungsi sebagai gelandang bertahan ketimbang Regista (sama seperti Jorginho).
Dalam skema 4-3-3, Thiago berdiri di depan para bek. Saat fase menyerang di mana kedua Full-Back naik, ia akan berada di depan dua bek dalam menahan serangan balik.
Singkat saja, Liverpool di bawah arahan Klopp lebih bermain melebar ketimbang dari tengah. Pola 4-3-3 yang dimainkannya memaksa peran Thiago malah berfungsi sebagai gelandang bertahan ketimbang Deep-Lying Playmaker(sama seperti Jorginho).
Dalam skema 4-3-3, Thiago berdiri di depan para bek. Saat fase menyerang di mana kedua Full-Back naik, ia akan berada di depan dua bek untuk menahan gempuran serangan balik.
Fakta di lapangan, Thiago selalu kesulitan menjalankan peran gelandang bertahan tunggal di skema 4-3-3. Berbeda jauh dengan saat dirinya membela Bayern Munchen di mana ia berdiri ditemani gelandang bertahan dalam skema 4-2-3-1.
Kelemahannya dalam bertahan pun membuat statistic negatifnya meningkat. Untuk musim 2020/21 ini, di Liga Inggris saja Thiago melakukan pelanggaran sebanyak 2.9 kali per 90 menit.
Angka tersebut menjadi yang tertinggi sepanjang kariernya. Sebagai perbandingan di musim lalu bersama Bayern Munchen, ia hanya melakukan pelanggaran sebanyak 1,3 kali per 90 menit.
Memaksakan seorang Deep-Lying Playmaker untuk tugas bertahan adalah kesalahan besar. Jorginho di Chelsea pun terekspos saat Lampard memainkan skema 4-3-3 yang mengandalkan lebar lapangan, berbeda dengan Maurizio Sarri yang menggunakan 4-3-3 namun lebih sentralistik.
Peran kreatif Thiago pun kian tak terlihat bersama Liverpool karena gaya bermain The Reds sendiri yang memanfaatkan lebar lapangan.
Tak ayal, Thiago dianggap tak berguna karena memainkan umpan-umpan pendek saja tanpa membuat Progressive Passes (umpan ke area lawan) akibat pusat permainan Liverpool berada di lebar lapangan lewat Trent Alexander-Arnold atau Andrew Robertson.
Pemaksaan Thiago menempati posisi gelandang bertahan murni pun membuat Liverpool mudah terekspos saat dihadapkan pada serangan balik.
Laga melawan Leicester City menjadi bukti penting di mana tiga gol The Foxes yang berasal dari serangan balik bersarang ke gawang Liverpool saat Thiago masuk dan membuat pelanggaran.
Entah cara apa yang akan digunakan Jurgen Klopp untuk membuat Thiago Alcantara sebagai kepingan yang tepat dalam formasi dan gaya bermainnya. Namun, sejauh ini pria asal Spanyol tersebut benar-benar seperti kepingan yang dipasangkan secara paksa dan tak cocok dengan gaya bermain Liverpool.