Jeblok Jelang Akhir Musim, Bagaimana Chelsea Mulai Kehabisan Bensin?
INDOSPORT.COM - Peforma yang tiba-tiba jeblok menjelang akhir musim, seperti menjadi pertanda kalau Chelsea mulai kehabisan bensin, bagaimana itu bisa terjadi?
Setelah mengalahkan Real Madrid di leg kedua semifinal Liga Champions dengan skor 2-0. mendadak semua orang jadi tersentak dengan Chelsea yang berhasil menembus final Liga Champions.
Padahal di pertengahan musim, tak ada yang berani prediksi kalau Chelsea bisa berada di posisi sekarang. Maklum saja, pelatih Frank Lampard saat itu dianggap gagal total sehingga langsung dipecat.
Beruntung Chelsea menunjuk pelatih yang tepat yaitu Thomas Tuchel untuk mencoba memperbaiki apa yang sudah berantakan oleh Lampard. Keputusan Chelsea pun tepat, Tuchel berhasil membawa tim bangkit.
Dari yang tadinya diperkirakan bakal tersingkir di 16 besar Liga Champions kini malah menembus final. Di Liga Inggris, awalnya tertahan di papan tengah, kini masuk 4 besar.
Semua berjalan begitu indah, bahkan di laga ‘gladi resik’ Liga Champions melawan Manchester City, Tuchel sukses membawa Chelsea menang. Tak pelak kemenangan lawan Real Madrid dan Manchester City langsung membuat Chelsea ada di atas angin.
Tapi ternyata setelah itu, Chelsea mendadak seperti dijatuhkan kembali ke bumi usai kalah 0-1 dari Arsenal. Yang paling menyakitkan tentu saat kalah 0-1 dari Leicester City pada babak final Piala FA.
Suporter Chelsea pun jadi kebingungan melihat tim kesayangannya mendadak kalah terus di 2 laga terakhir. Hasil jeblok jelang akhir musim tentu jadi bahaya bagi Chelsea yang akan main di final Liga Champions, apakah ini pertanda kalau mereka mulai kehabisan bensin?
1. Penyebab Chelsea Kalah Terus di 2 Laga Terakhir
Jika melihat formasi yang diturunkan oleh Thomas Tuchel dalam 4 laga terakhir melawan Real Madrid, Manchester City, Arsenal dan Leicester, sebenarnya nyaris sama. Di atas kertas, Chelsea tetap main dengan 3-4-2-1.
Di mana dalam formasi itu, para pemain Chelsea bisa bergerak secara fluid dengan terkadang bisa menjadi 3-4-1-2 atau 5-4-1 ketika bertahan. Hanya saja, ada perbedaan yang cukup mencolok di susunan pemain utamanya.
Saat melawan Real Madrid, tampak Chelsea menurunkan pemain terbaiknya seperti Timo Werner, Mason Mount, N’Golo Kante, Thiago Silva, Jorginho hingga Edouard Mendy. Tapi di laga lawan Manchester City, Tuchel berani mainkan Billy Gilmour.
Sebenarnya pemuda 19 tahun itu cukup sering tampil juga, hanya saja biasanya gelandang bertahan sudah jadi milik Kante, Jorginho atau Kovacic. Namun dikarenakan Kovacic absen, makanya Gilmour bisa masuk tim.
Namun dengan kiper tetap Mendy, Chelsea berhasil meraih kemenangan atas Manchester City. Yang jadi masalah adalah di 2 laga selanjutnya, ketika Tuchel mengistirahatkan Mendy untuk memberi tempat pada Kepa Arrizabalaga.
Tak hanya itu, Hakim Ziyech yang biasanya bertugas sebagai supersub juga mulai diberi kesempatan main sebagai inti saat lawan Leicester. Tampak di sini, Tuchel mulai melakukan rotasi pemain sejak Chelsea kalahkan Real Madrid.
Apa yang dilakukan oleh Tuchel sebenarnya sah-sah saja karena Chelsea tengah dihadang jadwal padat menjelang akhir musim. Selain itu juga, bisa jadi Tuchel ingin mengistirahatkan pemain utamanya dan agar tak ketahuan Manchester City tentang kekuatan sebenarnya jelang final Liga Champions.
Sehingga pemain-pemain yang biasanya duduk di bangku cadangan jadi lebih dikasih kesempatan waktu bermain. Tapi rotasi pemain sedikit banyak pasti bakal mengurangi kekuatan sesungguhnya Chelsea sehingga mengakibatkan mereka mulai kalah.
Jadi, ada kecenderungan, Tuchel seperti ingin menyimpan kekuatan terbaiknya demi mengalahkan Manchester City di final Liga Champions. Apa yang dilakukan Tuchel sangat taktis dan sah.
Hanya saja, sepertinya di laga dini hari nanti lawan Leicester, Tuchel harus menurunkan kekuatan terbaiknya agar menjamin tempat di Liga Champions musim depan. Sehingga setelah itu, Tuchel bisa fokus sepenuhnya mempersiapkan Chelsea di final Liga Champions akhir Mei.