Sejarah AC Milan Runtuhkan Kesombongan Barcelona di Final Liga Champions
INDOSPORT.COM - AC Milan sungguh menawan. Kalimat ini sudah cukup untuk menggambarkan permainan I Rossoneri alias Si Merah-Hitam di final Liga Champions 1993-1994.
AC Milan begitu perkasa melibas Barcelona yang ketika itu disebut-sebut sebagai tim terbaik di Eropa. Mereka bermodalkan skuat bertabur bintang lokal dan mancanegara, mulai dari Hristo Stoichkov (Bulgaria), Ronald Koeman (Belanda), Romario (Brasil), hingga Pep Guardiola (Spanyol).
Pelatih Barcelona, Johan Cruyff, sempat sesumbar sebelum bertanding. Dia menilai timnya lebih difavoritkan lantaran mengusung sepak bola menyerang nan atraktif, tidak seperti AC Milan yang cenderung defensif.
“Barcelona jelas favorit juara. Kami lebih sempurna, kompetitif, dan berpengalaman. AC Milan itu tidak ada apa-apanya. Permainan mereka bertumpu pada pertahanan, sedangkan kami bertumpu pada serangan,” ujar Johan Cruyff sehari sebelum laga final.
Terlebih, kondisi AC Milan bisa dibilang mengkhawatirkan mengingat klub asal Kota Mode Italia itu sudah tidak lagi memiliki Trio Belanda, Frank Rijkaard, Ruud Gullit, dan Marco van Basten.
Dua pilar lini belakang, Franco Baresi dan Alessandro Costacurta, juga harus absen akibat suspensi kartu. Keduanya terpaksa harus menyaksikan final Liga Champions malam itu sebagai penonton, 18 Mei 1994.
Kendati begitu, pelatih AC Milan, Fabio Capello, rupanya tak hilang akal. Dia menduetkan Filippo Galli bersama Paolo Maldini di jantung pertahanan serta menempatkan Marcel Dessaily, yang berposisi asli bek tengah, sebagai gelandang bertahan.
Hasilnya sukses besar. Barcelona benar-benar dibuat mati kutu dan frustrasi karena berkali-kali gagal menembus benteng solid Milan sepanjang pertandingan.
Sebaliknya, AC Milan tampil trengginas dan menggelontorkan empat gol ke gawang Barcelona yang dikawal kiper legendaris, Andoni Zubizarreta. Gol demi gol lahir dari kaki Danielle Massaro (2), Dejan Savicevic, dan Desailly.
AC Milan memang bermain tanpa kesan kehilangan tenaga Franco Baresi dan Alessandro Costacurta. Mereka memenangi penguasaan bola di lini sentral berkat kekompakan kuartet gelandang, yakni Demetrio Albertini, Roberto Donadoni, Zvonimir Boban, dan Marcel Desailly.
“AC Milan adalah kumpulan pemain-pemain yang tidak menonjolkan sisi individualis. Maka dari itu kami bisa baik-baik saja meski ada satu atau dua pemain yang berhalangan tampil,” ujar Fabio Capello.
“Sudah saya katakan bahwa kekuatan AC Milan terletak pada kualitas semua pemain, bukan hanya saya dan Costacurta. Ketiadaan satu atau dua pemain di tim itu biasa dan faktanya telah terbukti di atas lapangan,” cetus Franco Baresi menambahkan.
1. Rekor Spektakuler
Jadilah AC Milan mengukir rekor spektakuler berupa margin kemenangan terbesar di final Liga Champions (1993-sekarang). Sebuah pencapaian yang hingga kini masih bertahan karena belum bisa disamai maupun dipecahkan oleh finalis-finalis berikutnya.
Ada pun margin kemenangan yang paling mendekati ditorehkan oleh Real Madrid di tiga edisi berbeda, yakni 1990-2000 (vs Valencia 3-0), 2013-2014 (vs Atletico Madrid 4-1), dan 2016-2017 (vs Juventus 4-1), plus FC Porto edisi 2003-2004 (vs AS Monaco 3-0).
Susunan Pemain:
AC Milan (4-4-2): 1-Rossi; 2-Tassotti, 5-Galli, 6-Maldini (13-Nava 83'), 3-Panucci; 9-Boban, 8-Desailly, 4-Albertini, 7-Donadoni; 10-Savicevic, 11-Massaro
Cadangan: 12-Ielpo, 14-Carbone, 15-Lentini, 16-Simone
Pelatih: Capello
Barcelona (4-3-3): 1-Zubizarreta; 2-Ferrer, 4-Koeman, 5-Nadal, 7-Sergi (16-Estebaranz 71'); 6-Bakero, 3-Guardiola, 9-Amor; 8-Stoichkov, 10-Romario, 11-Begiristain (14-Eusebio 51')
Cadangan: 13-Busquets, 12-Juan Carlos, 15-Goikoetxea
Pelatih: Cruyff (Bld)
Stadion: Spyros Louis (70.000)
Gol: Massaro 22', 45+2', Savicevic 47', Desailly 58'
Wasit: Don (Ing)
Kartu Kuning: Tassotti, Massaro, Albertini, Panucci (M)/Stoichkov, Bakero, Nadal, Sergi, Ferrer (B)
Kartu Merah: -