x

Belum Sukses di Liga Champions, PSG Justru akan Dijual Lagi?

Rabu, 6 April 2022 22:25 WIB
Penulis: Izzuddin Faruqi Adi Pratama | Editor: Zulfikar Pamungkas Indrawijaya
Nasser Al-Khelaifi mengaku jika Paris Saint-Germain sempat ditawar namun ia enggan melepas dan kini punya ide baru memeriahkan Liga Champions. FOTO: REUTERS/Alessandro Garofalo

INDOSPORT.COM - Salah satu ambisi Qatar Sports Invenstments (QSI) dalam membeli Paris Saint-Germain (PSG) satu dekade lalu adalah untuk menjadikan klub tersebut klub terbaik dunia.

Caranya tidak lain adalah dengan menjuarai Liga Champions yang mana hingga kini belum juga bisa dilakukan oleh mereka.

Baca Juga

Kendati demikian PSG beserta pemiliknya belum mau menyerah mengejar mimpi mengangkat trofi Si Kuping Besar dan karenanya menolak untuk menghentikan investasi.

PSG sejak 2011, tahun dimulainya invetasi QSI, sudah sepuluh kali berlaga di putaran final Liga Champions namun seringkali langkah mereka terhenti di 16 maupun delapan besar.

Pencapaian terbaik Les Parisiens adalah kala menjadi runner-up di musim 2019/2020 lalu yang kemudian belum bisa diulangi lagi sampai saat ini.

Baca Juga

Dalam dua musim terakhir PSG hanya bisa mencapai semi-final dan lagi-lagi 16 besar. Wajar apabila kemudian QSI dispekulasikan telah bosan menghamburkan uang untuk mereka. 

PSG sebenarnya mengundang banyak peminat namun QSI belum punya niatan untuk melepas saham mereka di Parc des Princes.

"Bagi kami, membeli PSG adalah layaknya mengakusisi bisnis yang sedang merugi. Tidak ada pilihan lain selain menyuntikkan dana besar," beber Nasser Al-Khelaifi selaku presiden PSG pada The Athletic.

Baca Juga

"Saat itu kami mendapatkan PSG dengan harga sekitar 70 juta Euro (1 triliun Rupiah). Saat ini harga klub sudah berkali-kali lipat lebih mahal,"

"Kami pernah mendapat tawaran dari sebuah pihak untuk membeli PSG namun kami tolak," tambah pria 48 tahun asal Qatar tersebut.


1. Ingin Membuat Gebrakan Radikal di Liga Champions

Nasser Al Khelaifi

Sejak tergabung dalam circle klub elite Eropa, Paris Saint-Germain lama kelamaan semakin punya pegaruh besar.

Tidak hanya dalam bursa transfer dengan kekuatan ekonomi mereka, namun sejumlah petinggi klub seperti Al-Khelaifi juga semakin sering diberi wewenang khusus.

Baca Juga

Al-Khelaifi saat ini memegang jabatan sebagai kepala asosiasi klub Eropa (ECA). Saat ini ia tengah menggodok usulan untuk membuat Liga Champions semakin menarik.

Pria yang dulunya adalah atlet tenis profesional tersebut ingin agar final Liga Champions lebih semarak lagi.

Jika bisa maka UEFA harus menggelar upacara pembukaan dan penutupan yang super meriah agar penonton terhibur.

Baca Juga

Ide ini Al-Khelaifi dapatkan dari pengalaman menyaksikan final kompetisi futbol butan National Football League (NFL) yang biasa disebut Super Bowl.

Selain seremoni pembuka yang akbar, bahkan Super Bowl juga menyajikan hiburan dalam bentuk konser kala jeda pergantian babak.

Al-Khelaifi percaya jika idenya ini sangat brilian kendati mayoritas fans sepak bola tidak terlalu berkenan melihat olahraga favoritnya meniru futbol dan budayanya.

Baca Juga

"Final Liga Champions harusnya lebih meriah. Saya tidak ingin penikmat Super Bowl merasa lebih superior tapi mereka memang kreatif dan menghibur," sambung Nasser Al-Khelaifi lagi.

"Makanya, saya sarankan jika final Liga Champions nantinya juga akan punya banyak seremoni. Mungkin ini bukan pemikiran yang luar biasa namun setidaknya harus dicoba," pungkas pria yang menjadi tulang punggung PSG dalam satu dekade terakhir itu.


2. Bos Manchester City Sindir Media yang Usik Taktiknya

Pep Guardiola

Jelang dimulainya laga leg pertama babak delapan besar Liga Champions 2021/2022 melawan Atletico Madrid, Pep Guardiola angkat bicara soal klaim jika dirinya adalah pelatih yang terlalu banyak berpikir.

Dengan nada satir, manajer Manchester City tersebut mengaku jika dirinya memang senang overthingking dalam meracik taktik sehingga hasilnya terkadang justru tak memuaskan.

Boleh dikatakan Guardiola memang adalah pelatih sepak bola terbaik di dunia namun 'kekurangan' terbesarnya mungkin adalah tendensi untuk mengutak-atik skema dengan jaminan menangnya di waktu yang kurang tepat.

Contohnya di final Liga Champions musim lalu dimana City berjumpa dengan Chelsea. The Cityzens yang kala itu sukses menjadi kampiun Liga Inggris diposisikan sebagai favorit.

Jika memainkan taktik yang biasa dijalankan, maka Kevin de Bruyne dan kolega hampir pasti akan mengangkat trofi The Big Ears namun Guardiola memilih bereksperimen.

Baca selengkapnya: Kerap Tersandung di Liga Champions, Pelatih Man City 'Akui' Sering Bikin Taktik Bodoh

Liga ChampionsParis Saint-GermainNFLNational Football League (NFL)Nasser Al-KhelaifiBerita Liga Champions EropaSuper Bowl

Berita Terkini