Jadi Apa Habis Ketum PSSI? Djohar Arifin Husin, Manuver Paten Masuk Parlemen
INDOSPORT.COM - Lepas dari Nurdin Halid, kepemimpinan PSSI di bawah Djohar Arifin Husin tidak kalah kontroversinya. Kini setelah lepas dari sepak bola nasional ia menjadi anggota DPR RI.
Tahun 2010 hingga 2015 menjadi salah satu periode terburuk dalam sepak bola Indonesia. Untuk pertama kalinya FIFA dan pemerintah ikut turun tangan membenahi iklim sepak bola nasional.
Hal tersebut lantaran adanya konflik internal dan dualisme kompetisi sepak bola Tanah Air. Hingga akhirnya FIFA membuat komite normalisasi PSSI yang dikomandoi Agum Gumelar, salah satu agendanya menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI.
Hal itu juga tidak lepas karena masa kepemimpinan Nurdin Halid yang berakhir di tahun 2011 di Hotel Sultan, Jakarta.
Sang petahana mencalonkan kembali dengan harapan bisa terpilih lagi untuk ketiga kalinya. Tetapi mendapat saingan dari dua nama kuat George Toisutta dan Arifin Panigoro.
Jelang KLB PSSI, nama-nama calon menjadi perdebatan hingga akhirnya ricuh lagi. FIFA akhirnya memberikan sanksi kepada Nurdin Halid, tidak boleh mencalonkan diri.
Serta memberangus dua nama lain, George Toisutta dan Arifin Panigoro. Sebagai gantinya, muncul nama Djohar Arifin Husin yang dijagokan oleh kelompok 78 (voter) pada KLB PSSI jilid 2 di Solo pada 09 Juli 2011.
Hasilnya, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua Umum dan Farid Rahman sebagai wakil. Pada saat yang sama dipilih sembilan anggota Komite Eksekutif (Exco) yang salah satunya adalah La Nyalla Mattalitti.
Setelah resmi KLB dan mempunyai pengurus baru, bukan membuat situasi sepak bola dalam negeri adem.
Sebab ini rupanya jadi babak baru kisruh sepak bola Indonesia. Lepas dari Nurdin Halid, pemimpin PSSI yang baru juga tidak lepas dari kontroversi.
Djohar dengan kekuasaannya, sewanang-wenang merombak format kompetisi. Ia merangkul Liga Primer Indonesia (LPI) di bawah operator PT Liga Prima Indonesia Sportindo, sebagai kompetisi resmi setelah sebelumnya berstatus ilegal atau breakaway league.
Padahal saat itu yang resmi adalah Indonesia Super League (ISL) garapan PT Liga Indonesia. Ini pemicu dualisme kompetisi berkelanjutan.
Akibat hal tersebut, anggota PSSI terdiri dari klub-klub bergolak. Mayoritas menolak kompetisi model baru. Tetapi tidak digubris oleh Djohar Arifin Husin.
Hingga akhirnya ISL dan IPL tetap berjalan beriringan, kendati salah satunya tidak diakui oleh FIFA sebagai kompetisi resmi. Pengurus PSSI pun terbelah dua.
Empat anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, La Nyalla Mattalitti, Toni Aprilani, Roberto Rouw, dan Erwin Budiawan, membelot dan membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
ISL diurus oleh KPSI, sementara IPL di bawah naungan PSSI. Dampak perseteruan ini, timnas Indonesia tidak bisa memanggil pemain terbaiknya untuk mengikuti berbagai pertandingan internasional.
Sebab klub-klub yang mempunyai pemain bagus bermain di ISL, sedangkan FIFA melarang pemain memperkuat timnas jika berkarier di kompetisi yang tidak resmi di bawah federasi.
Pengurus PSSI terbelah menjadi dua kubu begitu juga dengan kompetisi sepak bola Indonesia. Pemerintah lewat kemenpora ikut intervensi, sampai akhirnya FIFA memberikan sanksi.
Selama pembekuan, rekonsiliasi dilakukan untuk menyatukan dua kubu yang berseberangan. Sampai akhirnya kembali digelar KLB pada tahun 2013, dengan memunculkan nama duet Djohar Arifin Husin dan La Nyalla Mattalitti sebagai ketua dan wakil ketua PSSI di Hotel Borobudur.
Dampak dari KLB ini akhirnya ISL dan IPL dilebur. ISL tetap menjadi kompetisi yang diakui PSSI.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Selama dua tahun masa kepemimpinannya (2013-2015) banyak kasus-kasus bermunculan.
Mulai dari match fixing hingga klub terjerat krisis finansial yang berakibat banyak pemain tertunggak gajinya.
1. Kisruh Tak Kunjung Usai
Masa kepemimpinan Djohar Arifin Husin yang tidak ada perubahan signifikan di sepak bola Indonesia pun berakhir di tahun 2015, dan di bulan April PSSI menggelar kembali KLB.
Hasil dari KLB ini adalah La Nyalla Mattalitti terpilih menjadi Ketua Umum. Masalahnya KLB ini tidak direstui Menpora Imam Nahrawi. Beberapa jam sebelum kongres, Imam membuat surat pembekuan organisasi PSSI.
Dengan ini pemerintah tidak mengakui hasil KLB ini. Dampaknya malah runyam. FIFA menjatuhkan sanksi pembekuan anggota PSSI karena ada intervensi pemerintah. Pembekuan itu diumumkan FIFA dalam kongres pada 30 Mei.
Di era Djohar Arifin Husin, Timnas Indonesia dua kali gagal di Piala AFF 2012 dan 2014 karena mengandalkan pemain seadanya, serta babak belur di Kualifikasi Piala Dunia 2014, salah satu hasil buruknya dibantai 10-0 oleh Bahrain.
Di Timnas Indonesia U-23 pun demikian. SEA Games 2011 dan 2013, dua-duanya hanya berakhir sebagai runner up.
Pelipur lara datang dari Timnas Indonesia U-19, yang berhasil menjadi juara di ajang Piala AFF U-19 2013. Tapi, Timnas itu sejatinya bentukan dari pengurus lama, sebelum Djohar melakukan perombakan besar-besaran organisasi.
Setelah perombakan itu, Skuad Garuda Nusantara justru menurun dan gagal lolos ke Piala Dunia U-20 2015.
Menuju Parlemen
Usai berkecimpung dalam organisasi kepengurusan sepak bola Indonesia, nama Djohar Arifin Husin tenggelam setelah tidak lagi menjabat sebagai ketua umum PSSI.
Empat tahun setelah lengser, ia pun memutuskan untuk masuk ke parlemen dengan ikut serta dalam pemilihan calon legislatif DPR RI di tahun 2019 dari Partai Gerindra dapil Sumatera Utara III.
Pria yang kini berusia 73 tahun itu pun lolos ke Senayan dengan perolehan 41.705 suara. Kini, dirinya menduduki Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, olahraga dan sejarah.
Artinya, salah satu tugas dari Djohar Arifin Husin di Komisi X adalah mengawasi kinerja sepak bola Indonesia termasuk di dalamnya para pengurus PSSI yang ternyata hingga saat ini masih jalan di tempat.