Napak Tilas Perjalanan Sepak Bola Indonesia dari Masa ke Masa
INDOSPORT.COM - Sepak bola di Indonesia sepertinya memang menjadi satu kisah yang sangat menarik untuk diketahui. Mungkin kini roda sepak bola di Indonesia sudah semakin maju dan semakin menjadi industri untuk semakin nyaman dinikmati.
Namun siapa sangka jauh sebelum itu semua, perkembangan sepak bola di Indonesia ternyata memiliki cerita tersendiri di mata para legenda Timnas Indonesia.
Sebut saja beberapa legenda dari lintas generasi memiliki masalah tersendiri dari perjalanan sepak bola Indonesia.
Mereka adalah Rully Nere, Robby Darwis yang sudah berjuang membela sepak bola Indonesia di tahun 80an.
Lalu ada Toyo Haryono yang berjuang di tahun 90an serta ada Firman Utina yang bisa dikatakan besar di sepak bola Indonesia tahun 2000an. Dari para legenda inilah ada kisah indah tersendiri untuk perkembangan sepak bola Indonesia.
Cerita Rully Nere dan Robby Darwis dari Masa Perserikatan
Rully Nere dan Robby Darwis dapat dikatakan hidup saat sepak bola Indonesia di masa perserikatan.
Robby Darwis, yang merupakan jebolan kompetisi perserikatan dan timnas Indonesia jua merefleksi perjalanan PSSI dari dahulu.
Dia bercerita awal-awal sebagai pemain, terutama saat PSSI menggabungkan Galatama dan Perserikatan.
"Waktu itu masuk Persib era perserikatan pada tahun 1982 dan 1983, kelas dua SMA. Fanatisme daerahnya luar biasa cukup fantastis," buka Robby Darwis.
"Saya sering juga liat tim Galatama ikut kompetisi yang cukup luar biasa. Waktu itu final di GBK 150 ribu (penonton). Saya juga kaget karena waktu itu masih junior. Tapi begitu masuk final dengan kapasitas itu, masuk lapangan itu tegang."
"Pengalaman yang saya rasakan waktu itu dari perserikatan, pemain sudah matang, topnya di situ tidak ada pemain asing, lokal semua. Penggabungan galatama & liga itu pressure-nya cukup besar," cerita Robby.
Rully Nere pun merasakan hal senada di mana dia bermain dari satu klub ke klub lainnya pada masa kala itu.
"Tahun 1977 saya perserikatan, Persipura. Kemudian tahun 1978 hijrah ke Jakarta untuk memperkuat Persija. Waktu itu ada lima klub lima besarnya perserikatan, sangat fanatik. PSMS, Persija, Persebaya, PSM dan Persiraja. Persib belum termasuk waktu itu. Perserikatan zaman itu tinggi sekali (persaingannya)," jelas dia.
"Di kejuaraan nasional tahun 1978 di putaran pertama Persebaya juara, kemudian di putaran kedua juara bersama PSMS. Setelah itu akhirnya terbentuk Galatama. Jadi Galatama pertama saya di Warna Agung Jakarta. Ada 14 klub pertama."
"Zaman itu kompetisinya berjalan bagus, tidak ada laga-laga tunda seperti sekarang, kemudian (kompetisinya) menghasilkan pemain-pemain yang bagus karena banyak pemain dari sebelumnya di perserikatan," sambungnya.
1. Firman Utina Datang pada Masa Milenium
Firman Utina yang datang pada PSSI generasi berbeda. Firman sendiri memulai karier profesional kelas 2 SMA saat Liga masih dibagi dua wilayah, tahun 1999/2000.
"Saya masih di Persma Manado, waktu itu saya masih muda jadi belum diikat secara profesional, umur saya masih 16 atau 17 tahun, jadi gaji itu hanya seperti uang 'permen', buat jajan," buka Firman.
"Setelah lulus, saya ke Persita tahun 2001, di sana empat tahun sebelum ke Arema dua tahun, terus balik ke Persita. Setelah itu saya ke Pelita Jaya, Persija. Saya lalu ke Sriwijaya FC dua tahun, setelah itu di Persib sampai 2015, kemudian tahun 2015 itu gonjang-ganjing liga ya pengalaman itu membuat saya menjadi lebih dewasa," papar Firman.
PSSI Kini di Era Erick Thohir
Perkembangan sepak bola pun coba diikuti oleh PSSI selaku federasi. Anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga, menilai PSSI saat ini memiliki banyak gagasan cemerlang di bawah kepemimpinan Erick Thohir sebagai ketua umum.
"PSSI sekarang beruntung punya ketum kalibernya kuat. Pembinaan dia tahu dengan kaliber Italia, pemain terbaik juga tahu bagaimana negosiasinya (serta) sistem dan manajemen (sudah) paham," kata Arya.
"Mudah mudahan banyak hal yg bisa dipikirkan dan konsepkan. Apalagi sekarang dia (ET) masih punya klub di Inggris, Oxford. Pak Erick liat bahwa kita masuk G20, artinya uangnya banyak. Biasanya naik level ekonomi negara, naik juga standar kualitas internasional olahraga di Indonesia," kata anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga, dalam diskusi sepak bola Indonesia tersebut.