Kisah Muhammad Ali, The Greatest yang Takut dengan Ketinggian
INDOSPORT. COM - Muhammad Ali merupakan salah satu figur olahraga termashyur pada abad ke-20. Meskipun dirinya sudah berstatus meninggal dunia pada 3 Juni 2016 lalu, masih banyak yang bisa dikenang dari sosok Muhammad Ali.
Salah satu cerita menarik tentang sosok Muhammad Ali adalah ketakutan dirinya terhadap ketinggian. Bagaimana cerita lengkapnya?
Muhammad Ali terlahir dengan nama Cassius Marcellus Clay, Jr pada 17 Januari 1942, di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Perkenalan Clay kecil dengan dunia tinju berawal saat sepeda BMX miliknya hlang dicuri dan ia pun memutuskan untuk melapor ke polisi. Joe Martin, adalah seorang polisi yang menyambutnya dan kemudian mengajainya cara bertinju agar bisa menghajar si pencuri sepeda.
Ternyata, olahraga yang diperkenalkan oleh sang polisi tersebut membuat Muhammad Ali menjadi salah satu atlet paling tenar sedunia lewat ring tinju. Tidak ada perdebatan kalau menyebut ketenaran Muhammad Ali datang karena prestasinya di atas ring. Dari 61 pertarungan, Muhammad Ali menang 56 kali, 37 di antaranya menang KO dan hanya 5 kali kalah.
Popularitas Muhammad Ali bukan cuma soal prestasi tinju saja, melainkan juga karena kontroversinya. Kontroversi Muhammad Ali terlihat dari nama-nama julukan yang tersemat kepadanya, mulai dari The God hingga The Greatest.
Awal Mula Julukan The Greatest
Julukan The Greatest keluar dari mulut Muhammad Ali sendiri. Pada 30 Oktober 1974, promotor tinju nomor satu dunia, Don King, mengadakan pertarungan antara Muhammad Ali dengan sang George Foreman.
Saat itu, George Foreman merupakan jawara tinju yang berperawakan besar, tinggi, dan kuat sehingga mendapat julukan “Beruang Besar”. Selain itu, ia juga menyandang gelar juara tinju kelas berat WBA dan WBC tahun 1973.
Tak ayal, pertarungan ini pun dijuluki “Rumble in the Jungle” alias Pertarungan di Tengah Hutan. Pertarungan yang berlangsung di Kinshasa, Zaire, menjadi ajang mempertahankan gelar bagi Foreman dan di sisi lain target merebut gelar bagi Muhammad Ali.
Sebagaimana pertandingan tinju pada umumnya, sebelum pertarungan keduanya melancarkan provokasi lewat media massa. Pada saat itu juga, Muhammad Ali mengumumkan akan mengubah gaya bertinjunya, yang tadinya berputar-putar mencari ruang, menjadi bertarung dari jarak dekat.
Tentunya, banyak yang tidak percaya dengan ungkapan Muhammad Ali tersebut, termasuk sang calon lawannya. Akan tetapi, Muhammad Ali mampu membuktikan semua ungkapannya. Ketika bel pertama dibunyikan, Foreman sudah mendapat bogem dari Muhammad Ali. Taktik jarak dekat Muhammad Ali berjalan dengan baik karena di luar dugaan Foreman.
Ronde demi ronde, pukulan-pukulan Foreman tak optimal dan sering tidak mengenai sasaran sehingga membuat tenaganya terkuras. Pada ronde ke-8 Muhammad Ali melayangkan pukulan menyilang dari kanan ke muka Foreman dan membuat petinju kelahiran Texas, Amerika Serikat itu mencium kanvas.
Foreman kalah KO. Ali pun meraih juara dunianya yang kedua dan mengukuhkan dirinya sebagai “The Greatest”. Total, Muhammad Ali mengoleksi tiga gelar juara dunia kelas berat sebanyak tiga kali, yakni, 1964, 1974, dan 1978.
The Greatest secara harfiah berarti “Yang Paling Besar”. Singkat cerita, julukan tersebut pada akhirnya dilepas karena Muhammad Ali menyadari yang berhak dianggap yang paling besar hanyalah Allah.
1. Muhammad Ali Takut Ketinggian
Dengan segala kehebatannya, Muhammad Ali dikenal sebagai petinju yang tidak kenal takut menghantam siapa saja lawannya di atas ring.
Bahkan di luar ring tinju, dia juga dikenal sebagai pejuang karena berani menentang negaranya sendiri, salah satunya saat menolak program wajib militer Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Muhammad Ali merasa orang-orang Vietnam tidak memiliki masalah dengan dirinya.
Namun, di balik semua keberaniannya, terdapat satu hal yang paling ditakuti, yaitu takut terbang dan takut ketinggian. Menurut Travel and Leisure, ketakutan Ali berasal dari penerbangan selama satu jam dari Louisville ke Chicago yang mengalami turbulensi kuat.
Dalam menggambarkan betapa mengerikannya penerbangannya itu, Muhammad Ali berkata, “beberapa kursi robek dan baut lepas ke lantai”. Sang manajer, Joe Martin, dalam biografi berjudul Ali: A Life membenarkan hal tersebut.
“Saya berpikir itu adalah penerbangan terakhir kami. Ia (Ali) berdoa dan terlihat sangat ketakutan setengah mati.”
Ali menyadari bahwa dirinya bisa saja menjalani pertarungan tinju di negara-negara lain dan mengharuskannya untuk terbang naik pesawat. Ketakutannya pun menuntunnya untuk membeli sebuah parasut yang akan terus dikenakannya saat duduk di kursi pesawat.
“Ia membeli parasut di toko militer dan setelah itu, ia akan terus menggunakannya di dalam pesawat,” lanjut Joe Martin masih dari sumber buku yang sama.